Pages

Wednesday, 25 May 2011

Green Zone with Matt Damon


Saya punya adik perempuan manis yang bernama Numa. Suatu hari yang cerah, ia berkunjung ke kota tempat saya menimba ilmu untuk sebuah misi luar biasa. Ia akan menjadi MC sebuah acara di kampusnya yang selevel internasional. Awawa...saya bangga padanya. Nah, setelah berjalan-jalan cukup lama mencari bodywear yang cocok, saya mengajaknya nonton film. Oh, ya, Frankenstein juga ikut nonton. Karena waktu itu 21 tidak memutar film komedi (yang ada adalah film-film Indonesia nggak jelas) – maka pilihan kami jatuh pada film action. Dan voila! Ada Matt Damon dengan “Green Zone”-nya. Kami menyukai akting Matt Damon, apalagi terbawa pesonanya saat maen di trilogi Bourne. Awalnya kami mengira film itu juga kelanjutannya Bourne karena sutradaranya juga sama, tapi memang ternyata berbeda. 

Saya mengambil sebagian besar referensi “Green Zone” dari wikipedia.com setelah googling sebentar di internet. Semakin saya baca, semakin saya dibuat bingung dengan alasan perang Irak dan kelihatannya alasannya cukup mengada-ada. Film ini mendapat kritikan pedas dan kontroversi politik di Amerika Serikat (tidak heran).

Green Zone adalah aksi-thriller perang tahun 2010 ditulis oleh Brian Helgeland dan disutradarai oleh Paul Greengrass. Film ini dibuat karena terinspirasi oleh buku non-fiksi tahun 2006 Imperial Life in the Emerald City karya jurnalis Rajiv Chandrasekaran, yang didokumentasikan pada saat dia tinggal di Green Zone, Baghdad, Irak. Film ini dibintangi oleh Matt Damon, Amy Ryan, Greg Kinnear, dan Brendan Gleeson. Pembuatannya dimulai pada Januari 2008 di Spanyol dan kemudian dipindahkan ke Maroko dan dirilis di Australia dan Rusia pada 11 Maret 2010, dan di Amerika Serikat dan beberapa negara lain pada 12 Maret 2010. Film ini merupakan salah satu film Amerika Serikat yang berani mengungkap skandal perang Irak secara lebih terbuka.



Sutradara Paul Greengrass mengatakan bahwa awalnya ia akan membuat film mengenai pokok persoalan perang di Irak daripada menceritakan kisah tertentu. Meski pada awalnya ia mendukung pembenaran Tony Blair atas perang tersebut, ia menjadi semakin dikecewakan. Greengrass kemudian melakukan penelitian terhadap latar belakang konflik, membaca jurnalis seperti Bob Woodward, Seymour Hersh, James Risen, Thomas Ricks, dan Ron Suskind, sebagai tambahan terhadap Rajiv Chandrasekaran, yang bukunya dijadikan acuan. Dia bahkan mengumpulkan dokumen How Did We Get It So Wrong?, yang mendetailkan apa yang ia pelajari. Meski awalnya Greengrass ingin membuat film skala kecil, ia kemudian memutuskan untuk memberikan budget produksi yang lebih besar yang akan memaparkan banyak orang terhadap ide film ini.


Film ini menuai banyak kritik politik. Beberapa diantaranya menyebutnya “anti-Amerika” atau “anti-perang”. Seorang pengamat film dan veteran militer AS, Kyle Smith, lebai saat melabeli film ini “fitnah” dan anti-Amerika secara mengerikan”. Sebuah artikel di Fox News.com menyatakan, “Diberi set-up semacam ini, audiens didorong untuk mengikuti aktivitas Miller sebagai “anak nakal” dan melawan pemerintah, yang direpresentasikan di film ini melalui kepala Pentagon yang korup yang diperankan oleh Greg Kinnear."

Richard "Monty" Gonzales, orang yang manjadi karakter Roy Miller di film ini, berkomentar bahwa kedua pandangan politik memberikan reaksi secara tidak proporsional dan kontroversi politik apapun tidak beralasan. Gonzales bekerja sebagai salah satu penasihat militer leih dari dua tahun dengan ketentuan bahwa film ini akan setia pada pengalaman prajurit Amerika saat di Irak. Gonzales menulis bahwa film ini menangkap kesalahan besar kritikan intelegensi sebelum perang dan progran de-Baathifikasi yang meyakinkan bahwa konflik ini banyak mengeluarkan biaya dan rumit. Meski demikian, ia mempertahankan bahwa jalan cerita dilm yang merefleksikan konspirasi sejati oleh beberapa bagian pemerintah Amerika adalah benar. Gonzales memandang filin ini sebagai “thriller Bourne-in-Baghdad” yang menggairahkan. Matt Damon memuji Gonzales motif untuk bekerja demi film ini karena alasan “kita perlu mendapatkan kembali wibawa moral kita.”

Greengrass membela film ini dalam wawancara dengan Charlie Rose dengan mengatakan, “Masalahnya, saya pikir, bagi asaya adalah sesuatu mengenai peristiwa itu membatasi semua ikatan dan urat daging yang menghubungkan kita semua. Bagi saya hal itu berkaitan dengna apa yang mereka katakan bahwa mereka mempunyai intelegensi, tetapi akhirnya ternyata tidak.” Matt Damon juga mempertahankan film ini, mengatakan kepada MTV News, “Saya tidak merasa itu adalah hal pengobar yang utama untuk dikatakan. Saya pikir itu adalah perjalanan yang kita semua lalui dan pertanyaan fundamental yang kita pertanyakan dan bukan Cuma sebagai pengikut.” Pada tanggal 13 Maret, Michael Moore memposting pada Twitter-nya, “Aku nggak percaya film ini dibuat. Film ini secara bodoh dipasarkan sebagai film aksi. Film ini adalah yang paling JUJUR mengenai Perang Irak yang pernah dibuat Hollywood.”

Matt Damon setidaknya di film ini bicara banyak dan pernah tersenyum (^_^). Seperti biasa, aktingnya efektif dan efisien. Oh, ya, ada satu tokoh yang perannya tidak sedikit di film ini, yaitu Khalid Abdalla yang berperan sebagai Freddy, seorang warga Irak yang suka dengan Bryan Adams (yare-yare...). Freddy adalah veteran tentara Irak yang kehilangan kakinya pada tahun 1987 selama perang Iran – Irak. Di film ini, Freddy menjadi penerjemah Miller. Abdalla mendapatkan peran ini setelah mengesankan Greengrass dengan performanya di United 93. Aktor ini kemudian menyiapkan perannya dengan mempelajari dialek Arab Irak dan membaca blog-blog Irak seperti Riverbend dan Alive in Baghdad. Secara keseluruhan, saya menganggap film ini berani mengkritisi dan memaparkan sebagian kecil konspirasi perang Irak, yah...padahal film ini bikinan Hollywood (memang benar). Numa dan Frankenstein juga puas.

Setiap film ataupun cerita ataupun sejarah bahkan skandal sekalipun, pasti mengandung unsur-unsur fiksi, tetapi film satu ini mampu meramu porsi fiksi dan non-fiksi dengan sangat cermat. Memang benar, Amerika memang selalu ingin menjadi hero (versinya sendiri) – teringat Amerika dalam anime “Hetalia” berseru, “Tsumari, ore wa hero da!” – tetapi ada sebagian porsi kebenaran bagi manusia dunia untuk diketahui (setidaknya) mengenai konspirasi ini. See, film ternyata dapat menambah wawasan kita! Jadi (nada mengancam) kenapa siy, film Indonesia yang seharusnya dan seyogyanya saya banggakan tidak BELUM mampu menghasilkan tayangan yang berkualitas?

Omake di bawah ini saya cukil langsung dari Wikipedia.com
GREEN ZONE
Green Zone adalah istilah umum yang diberikan untuk Zona Internasional Irak seluas 10 km persegi (3,8 mil persegi) di Ibukota Irak, Baghdad. Area ini menjadi pusat Otoritas Koalisi Sementara (Coalition Provisional Authority) dan tetap menjadi pusat keberadaan internasional di kota tersebut. Nama resmi tersebut awalnya bernama International Zone dibawah Pemerintah Interim Irak, meskipun istilah Green Zone yang paling sering dipakai. Istilah Red Zone, sebagai kontrasnya, mengacu pada bagian Baghdad yang secara langsung berada di luar perimeter tetapi digunakan secara bebas untuk semua area tidak aman pos-pos militer off-site. Kedua istilah awalnya untuk rancangan militer.

Pre-invasi
Green Zone adalah daerah yang dibentengi gila-gilaan di tengah-tengah ibukota Irak yang berfungsi sebagai markas besar rezim para dedengkot Irak. Secara teknis, Green Zone adalah pusat administratif Partai Ba’ath. Aslinya, daerah itu bukan kawasan hunian orang-orang pemerintahan, meski digunakan sebagai basis militer, kementerian dan pemerintahan dan istana kepresidenan buat Saddam Hussein dan keluarganya. Yang paling besar adalah istana Republik (Republican Palace) dimana kursi kekuasaan Presiden Saddam Hussein berada. Area ini juga dikenal dengan nama Karradat Mariam, sesuai dengan wanita lokal ternama yang membantu rakyat miskin di Baghdad.

Post-invasi
Daerah ini diambil alih oleh kekuatan militer Amerika pada bulan April 2003 dalam peperangan terberat selama perebutan Baghdad. Dalam invasi US ke Irak, Saddam dan petinggi-petinggi lainnya dievakuasi karena untuk mengantisipasi pengeboman aerial yang bakal heboh. Sisa-sisanya kabur ketika angkatan darat US menginvasi ibukota Irak dan menutup akses ke ibukota Irak karena ketakutan dengan adanya tentara koalisi atau kemungkinan adanya pembalasan warga Irak yang tidak puas. Beberapa pribumi yang tidak melarikan diri tetap tinggal di daerah tersebut tetapi banyak yang tidak terdokumentasi sehingga disebut sebagai “Apartemen 215”.
Jalan masuk ke Green Zone berada di bawah kuasa garnisun kecil pasukan Amerika yang ditempatkan di beberapa chekpoints. Kebanyakan dari mereka berasal dari batalion FOB Prosperity, di bawah komando Divisi Multi-Nasional – Baghdad. Sebagai tambahan, sebatalion prajurit koalisi dari Republik Georgia juga ditempatkan di pintu masuk.
Green Zone sering dibom oleh pemberontak dengan mortir dan roket yang mengakibatkan beberapa kerusakan. Bulan Oktober 2004, Green Zone diserang dengan bom bunuh diri dua kali, yang menghancurkan pasar dan Cafe Green Zone. Tanggal 12 April 2007, sebuah bom meledak di kafetaria Parlemen Irak, membunuh Mohammed Awad (seorang anggota Sunni National Dialogue Front) dan melukai 22 orang, termasuk salah satu wakil presiden. Green Zone dibom dengan roket dan mortir hampir tiap hari sejak Paskah 2008 hingga 5 Mei 2008 mengakibatkan kerusakan bagi militer maupun warga sipil, seperti yang dikutip oleh USA Today Article. Sebagian besar roket dan mortir berasal dari Sadr City. Tanggal 6 April 2008, dua prajurit AS terbunuh dan 17 orang mengalami luka-luka ketika sebuah roket atau mortir meledak di Green Zone. Pada tanggal 22 Juli 2010, tiga orang kontraktor penjaga keamanan Triple Canopy (dua orang Uganda dan satu orang Peruvia) terbunuh dan 15 orang lainnya (termasuk kewarganegaraan AS) terluka ketika sebuah roket meldak ke dalam Green Zone.

Tanggal 1 Januari 2009, kekuasaan penuh atas International Zone (Green Zone) dikembalikan pada Irak.

No comments:

Post a Comment

Hai! Silakan sharing pengalamanmu disini ya. Makasiiiiih~~~

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...