Pages

Wednesday, 25 May 2011

Green Zone with Matt Damon


Saya punya adik perempuan manis yang bernama Numa. Suatu hari yang cerah, ia berkunjung ke kota tempat saya menimba ilmu untuk sebuah misi luar biasa. Ia akan menjadi MC sebuah acara di kampusnya yang selevel internasional. Awawa...saya bangga padanya. Nah, setelah berjalan-jalan cukup lama mencari bodywear yang cocok, saya mengajaknya nonton film. Oh, ya, Frankenstein juga ikut nonton. Karena waktu itu 21 tidak memutar film komedi (yang ada adalah film-film Indonesia nggak jelas) – maka pilihan kami jatuh pada film action. Dan voila! Ada Matt Damon dengan “Green Zone”-nya. Kami menyukai akting Matt Damon, apalagi terbawa pesonanya saat maen di trilogi Bourne. Awalnya kami mengira film itu juga kelanjutannya Bourne karena sutradaranya juga sama, tapi memang ternyata berbeda. 

Saya mengambil sebagian besar referensi “Green Zone” dari wikipedia.com setelah googling sebentar di internet. Semakin saya baca, semakin saya dibuat bingung dengan alasan perang Irak dan kelihatannya alasannya cukup mengada-ada. Film ini mendapat kritikan pedas dan kontroversi politik di Amerika Serikat (tidak heran).

Green Zone adalah aksi-thriller perang tahun 2010 ditulis oleh Brian Helgeland dan disutradarai oleh Paul Greengrass. Film ini dibuat karena terinspirasi oleh buku non-fiksi tahun 2006 Imperial Life in the Emerald City karya jurnalis Rajiv Chandrasekaran, yang didokumentasikan pada saat dia tinggal di Green Zone, Baghdad, Irak. Film ini dibintangi oleh Matt Damon, Amy Ryan, Greg Kinnear, dan Brendan Gleeson. Pembuatannya dimulai pada Januari 2008 di Spanyol dan kemudian dipindahkan ke Maroko dan dirilis di Australia dan Rusia pada 11 Maret 2010, dan di Amerika Serikat dan beberapa negara lain pada 12 Maret 2010. Film ini merupakan salah satu film Amerika Serikat yang berani mengungkap skandal perang Irak secara lebih terbuka.



Sutradara Paul Greengrass mengatakan bahwa awalnya ia akan membuat film mengenai pokok persoalan perang di Irak daripada menceritakan kisah tertentu. Meski pada awalnya ia mendukung pembenaran Tony Blair atas perang tersebut, ia menjadi semakin dikecewakan. Greengrass kemudian melakukan penelitian terhadap latar belakang konflik, membaca jurnalis seperti Bob Woodward, Seymour Hersh, James Risen, Thomas Ricks, dan Ron Suskind, sebagai tambahan terhadap Rajiv Chandrasekaran, yang bukunya dijadikan acuan. Dia bahkan mengumpulkan dokumen How Did We Get It So Wrong?, yang mendetailkan apa yang ia pelajari. Meski awalnya Greengrass ingin membuat film skala kecil, ia kemudian memutuskan untuk memberikan budget produksi yang lebih besar yang akan memaparkan banyak orang terhadap ide film ini.


Film ini menuai banyak kritik politik. Beberapa diantaranya menyebutnya “anti-Amerika” atau “anti-perang”. Seorang pengamat film dan veteran militer AS, Kyle Smith, lebai saat melabeli film ini “fitnah” dan anti-Amerika secara mengerikan”. Sebuah artikel di Fox News.com menyatakan, “Diberi set-up semacam ini, audiens didorong untuk mengikuti aktivitas Miller sebagai “anak nakal” dan melawan pemerintah, yang direpresentasikan di film ini melalui kepala Pentagon yang korup yang diperankan oleh Greg Kinnear."

Richard "Monty" Gonzales, orang yang manjadi karakter Roy Miller di film ini, berkomentar bahwa kedua pandangan politik memberikan reaksi secara tidak proporsional dan kontroversi politik apapun tidak beralasan. Gonzales bekerja sebagai salah satu penasihat militer leih dari dua tahun dengan ketentuan bahwa film ini akan setia pada pengalaman prajurit Amerika saat di Irak. Gonzales menulis bahwa film ini menangkap kesalahan besar kritikan intelegensi sebelum perang dan progran de-Baathifikasi yang meyakinkan bahwa konflik ini banyak mengeluarkan biaya dan rumit. Meski demikian, ia mempertahankan bahwa jalan cerita dilm yang merefleksikan konspirasi sejati oleh beberapa bagian pemerintah Amerika adalah benar. Gonzales memandang filin ini sebagai “thriller Bourne-in-Baghdad” yang menggairahkan. Matt Damon memuji Gonzales motif untuk bekerja demi film ini karena alasan “kita perlu mendapatkan kembali wibawa moral kita.”

Greengrass membela film ini dalam wawancara dengan Charlie Rose dengan mengatakan, “Masalahnya, saya pikir, bagi asaya adalah sesuatu mengenai peristiwa itu membatasi semua ikatan dan urat daging yang menghubungkan kita semua. Bagi saya hal itu berkaitan dengna apa yang mereka katakan bahwa mereka mempunyai intelegensi, tetapi akhirnya ternyata tidak.” Matt Damon juga mempertahankan film ini, mengatakan kepada MTV News, “Saya tidak merasa itu adalah hal pengobar yang utama untuk dikatakan. Saya pikir itu adalah perjalanan yang kita semua lalui dan pertanyaan fundamental yang kita pertanyakan dan bukan Cuma sebagai pengikut.” Pada tanggal 13 Maret, Michael Moore memposting pada Twitter-nya, “Aku nggak percaya film ini dibuat. Film ini secara bodoh dipasarkan sebagai film aksi. Film ini adalah yang paling JUJUR mengenai Perang Irak yang pernah dibuat Hollywood.”

Matt Damon setidaknya di film ini bicara banyak dan pernah tersenyum (^_^). Seperti biasa, aktingnya efektif dan efisien. Oh, ya, ada satu tokoh yang perannya tidak sedikit di film ini, yaitu Khalid Abdalla yang berperan sebagai Freddy, seorang warga Irak yang suka dengan Bryan Adams (yare-yare...). Freddy adalah veteran tentara Irak yang kehilangan kakinya pada tahun 1987 selama perang Iran – Irak. Di film ini, Freddy menjadi penerjemah Miller. Abdalla mendapatkan peran ini setelah mengesankan Greengrass dengan performanya di United 93. Aktor ini kemudian menyiapkan perannya dengan mempelajari dialek Arab Irak dan membaca blog-blog Irak seperti Riverbend dan Alive in Baghdad. Secara keseluruhan, saya menganggap film ini berani mengkritisi dan memaparkan sebagian kecil konspirasi perang Irak, yah...padahal film ini bikinan Hollywood (memang benar). Numa dan Frankenstein juga puas.

Setiap film ataupun cerita ataupun sejarah bahkan skandal sekalipun, pasti mengandung unsur-unsur fiksi, tetapi film satu ini mampu meramu porsi fiksi dan non-fiksi dengan sangat cermat. Memang benar, Amerika memang selalu ingin menjadi hero (versinya sendiri) – teringat Amerika dalam anime “Hetalia” berseru, “Tsumari, ore wa hero da!” – tetapi ada sebagian porsi kebenaran bagi manusia dunia untuk diketahui (setidaknya) mengenai konspirasi ini. See, film ternyata dapat menambah wawasan kita! Jadi (nada mengancam) kenapa siy, film Indonesia yang seharusnya dan seyogyanya saya banggakan tidak BELUM mampu menghasilkan tayangan yang berkualitas?

Omake di bawah ini saya cukil langsung dari Wikipedia.com
GREEN ZONE
Green Zone adalah istilah umum yang diberikan untuk Zona Internasional Irak seluas 10 km persegi (3,8 mil persegi) di Ibukota Irak, Baghdad. Area ini menjadi pusat Otoritas Koalisi Sementara (Coalition Provisional Authority) dan tetap menjadi pusat keberadaan internasional di kota tersebut. Nama resmi tersebut awalnya bernama International Zone dibawah Pemerintah Interim Irak, meskipun istilah Green Zone yang paling sering dipakai. Istilah Red Zone, sebagai kontrasnya, mengacu pada bagian Baghdad yang secara langsung berada di luar perimeter tetapi digunakan secara bebas untuk semua area tidak aman pos-pos militer off-site. Kedua istilah awalnya untuk rancangan militer.

Pre-invasi
Green Zone adalah daerah yang dibentengi gila-gilaan di tengah-tengah ibukota Irak yang berfungsi sebagai markas besar rezim para dedengkot Irak. Secara teknis, Green Zone adalah pusat administratif Partai Ba’ath. Aslinya, daerah itu bukan kawasan hunian orang-orang pemerintahan, meski digunakan sebagai basis militer, kementerian dan pemerintahan dan istana kepresidenan buat Saddam Hussein dan keluarganya. Yang paling besar adalah istana Republik (Republican Palace) dimana kursi kekuasaan Presiden Saddam Hussein berada. Area ini juga dikenal dengan nama Karradat Mariam, sesuai dengan wanita lokal ternama yang membantu rakyat miskin di Baghdad.

Post-invasi
Daerah ini diambil alih oleh kekuatan militer Amerika pada bulan April 2003 dalam peperangan terberat selama perebutan Baghdad. Dalam invasi US ke Irak, Saddam dan petinggi-petinggi lainnya dievakuasi karena untuk mengantisipasi pengeboman aerial yang bakal heboh. Sisa-sisanya kabur ketika angkatan darat US menginvasi ibukota Irak dan menutup akses ke ibukota Irak karena ketakutan dengan adanya tentara koalisi atau kemungkinan adanya pembalasan warga Irak yang tidak puas. Beberapa pribumi yang tidak melarikan diri tetap tinggal di daerah tersebut tetapi banyak yang tidak terdokumentasi sehingga disebut sebagai “Apartemen 215”.
Jalan masuk ke Green Zone berada di bawah kuasa garnisun kecil pasukan Amerika yang ditempatkan di beberapa chekpoints. Kebanyakan dari mereka berasal dari batalion FOB Prosperity, di bawah komando Divisi Multi-Nasional – Baghdad. Sebagai tambahan, sebatalion prajurit koalisi dari Republik Georgia juga ditempatkan di pintu masuk.
Green Zone sering dibom oleh pemberontak dengan mortir dan roket yang mengakibatkan beberapa kerusakan. Bulan Oktober 2004, Green Zone diserang dengan bom bunuh diri dua kali, yang menghancurkan pasar dan Cafe Green Zone. Tanggal 12 April 2007, sebuah bom meledak di kafetaria Parlemen Irak, membunuh Mohammed Awad (seorang anggota Sunni National Dialogue Front) dan melukai 22 orang, termasuk salah satu wakil presiden. Green Zone dibom dengan roket dan mortir hampir tiap hari sejak Paskah 2008 hingga 5 Mei 2008 mengakibatkan kerusakan bagi militer maupun warga sipil, seperti yang dikutip oleh USA Today Article. Sebagian besar roket dan mortir berasal dari Sadr City. Tanggal 6 April 2008, dua prajurit AS terbunuh dan 17 orang mengalami luka-luka ketika sebuah roket atau mortir meledak di Green Zone. Pada tanggal 22 Juli 2010, tiga orang kontraktor penjaga keamanan Triple Canopy (dua orang Uganda dan satu orang Peruvia) terbunuh dan 15 orang lainnya (termasuk kewarganegaraan AS) terluka ketika sebuah roket meldak ke dalam Green Zone.

Tanggal 1 Januari 2009, kekuasaan penuh atas International Zone (Green Zone) dikembalikan pada Irak.

Thursday, 19 May 2011

Ekspedisi Merbabu Part 3: Perjalanan Menuju Puncak

Dan begitulah, sekitar pukul 0200, saya mendengar suara di luar tenda memanggil-manggil untuk bangun. Suara Frankenstein ternyata. Dia sudah bangun duluan dan mengajak saya membuat sarapan (atau malah saur). Hehe...saya tahu wajah saya pasti abstrak karena saya tidak sisiran dan tidak memcuci muka. Meski tidak ada yang meributkan tampang saya pagi itu, saya menyediakan waktu khusus untuk menyisir rambut ruwet dan mengulang mengikatnya. Suhu udara, jelas dingin (seakan dingin saja tidak cukup melukiskannya), napas teman-teman dan saya sendiri ternyata beruap. huff-huff...puff-puff...Sejenak saya melihat ke angkasa. SUBHANALLAH! Oh, saya sungguh makhluk kecil yang tidak berdaya diantara taburan bintang-bintang yang luas biasa luas dan indah. Saya punya pikiran mendadak ingin berbaring selama mungkin hanya untuk memandangnya dan berniat membeli satu teleskop untuk mengamatinya.

"Pepper Pott, ayo, mulai bikin mie lagi", kata Frankenstein menyadarkan dimana posisi saya sekarang. "Oh, oke, ayo", kata saya mengiyakan. Saat itu, perut saya terasa sembab, sakit dan tidak nyaman. Saya merasa kalau saat-saat rutinitas pagi saya akan segera muncul, tapi saya mensugesti diri saya supaya hal itu diurungkan untuk saat-saat ini, mengingat saya tidak bisa membayangkan bagaimana harus pup dalam kondisi seperti ini. Seperti biasa, kami makan dengan kecepatan yang mengagumkan. Bobby menyuruh kami mem-packing ulang bawaan karena sebagian besar barang-barang akan "dititipkan" di pos 2 ini, dengan Fajrin sebagai keeper-nya. Tenda dome otomatis ditinggal. Total orang yang akan naik adalah 10 orang, sehingga carrier atau backpack yang dibawa otomatis jumlahnya lebih sedikit. Saya berpasangan dengan Frankenstein. Hanya minuman dan makanan secukupnya yang dibawa. Tak lupa alat sholat dan bendera Ukesma, piranti kami bernarsis ria di puncak nantinya. YES!

Meski perjalanan menuju puncak membawa beban yang jauh lebih ringan, saya malah lebih ngos-ngosan. Saya bahkan tidak memanggul tas di punggung saya! Frankenstein yang membawakannya. Tapi-tapi-tapi, saya malah merasa lebih lemah, gemetar dan sering berhenti dalam perjalanan menuju puncak, saya sering terbungkuk-bungkuk kecapaian. Azis yang bertugas sebagai sweeper bahkan menyarankan saya berjalan di depan supaya tidak terlalu ketinggalan. Kami sering berhenti untuk beristirahat kilat, yang biasanya dilakukan atas permintaan Novia. Saya tidak pernah meminta berhenti karena saya tidak bisa memunculkan suara yang layak kecuali suara napas ngos-ngosan saya sendiri. Dintan sempat melakukan rutinitas paginya di sela-sela waktu istirahat kami. Klepon, Lea dan Dede sepertinya oke-oke saja meski mereka juga tampak sedikit ngos-ngosan.

Ternyata, banyak pendaki yang sudah mendahului kami naik menuju puncak, Biarlah! Mereka dengan kecepatan mereka dan kami dengan tempo kami sendiri. Bobby (yang notabene juga anak Mapa) sepertinya juga maklum dengan kondisi ini. Dia malah sepertinya bersyukur perjalanannya santai sehingga dia sendiri tidak capek. Selama perjalanan, Azis tercatat yang paling banyak mengambil gambar (secara dia tukang fotonya) dan yang paling banyak berkencan dengan batang sepanjang 7 cm dan membiarkan asapnya memenuhi paru-parunya, menyempitkan pembuluh darahnya dan meracuni sel-sel yang berdenyut hidup di tubuhnya.

Sesuai waktu yang dijanjikan, sekitar pukul 0315, kami mulai bergerak menyusuri jalan setapak menuju puncak Merbabu. Tower adalah puncak pertama yang kami tuju. Berkali-kali Bobby memberi kami semangat untuk terus melangkah dengan berkali-kali mengatakan: Towernya bentar lagi nyampe, tuh dah kelihatan.


"Udah kelihatan, my foot!", protes saya sedikit emosi. "Merbabu dari Magelang puncaknya juga dah kelihatan, Bob", sambung saya dengan napas seperti badak bercula satu yang marah. Tidak banyak dokumentasi selama kami menuju Tower. Saat Bobby mengatakan "udah kelihatan" lagi, saya mengultimatumnya, "Kalo kamu bilang itu lagi, kamu akan kulempar dari ketinggian ini". Padahal posisi saya sepertinya tidak mungkin melemparnya ke bawah. Kami tiba di padang berbatu datar yang cukup luas. Dengan lutut gemetaran dan napas satu-dua, saya menegakkan badan dan saya otomatis berteriak SUBHANALLAH. OOOHH!!!

"Oh, oh, oh, impas deh!", teriak saya tidak bisa menyembunyikan kegirangan saya. Sunrise dari puncak gunung! Sungguh lain sensasinya! Matahari yang perlahan mengintip, gumpalan awan dan kabut yang menyelimuti badan gunung, daun-daun yang basah karena embun. Perlahan, pipi saya menjadi hangat, meski suhu udara dingin. Hembusan angin gunung yang membuat hidung, bibir dan telinga saya kering tidak cukup menekan perasaan haru dan bahagia bisa menyaksikan pemandangan ini. Oh, peristiwa ini saya rekam di memori saya. Saya pikir kamera terbaikpun tidak bisa mengabadikan momen ini sebaik mata kepala sendiri.

Sunrise di Puncak Tower, salah satu puncak Merbabu. SUBHANALLAH!
Liat langsung yang asli berkali-kali lebih bagus dari gambar yang berhasil ditangkap ini loh!
Oh! Warna langitnya itu loh!
Ini siluet saya pas di Puncak Tower hehehe...

Gambar-gambar di bawah ini adalah narsis ria saat di puncak Tower
Huahaha! Tampang saya belum mandi >__<. Lihat background-nya! Frankenstein canggih banget ambil gambarnya ^_^.
Berfoto bersama bendera Ukesma ^_^. Ini idenya Frankenstein. Perhatikan pipinya Frankenstein, kilang-kilong kayak Anpanman hihihi...
Berfoto bareng sama tim pendaki. Malam berganti pagi dengan sangat cepat di atas gunung :D:D.
Seize the day!


Tak lupa sholat subuh di ketinggian 2900 mdpl. Oh, you should feel the breeze too! And the serenity, wow, like you are on the top of the world. So peaceful.
Oh...rasanya...seperti di puncak dunia ^_^. Sholat subuh di Puncak Tower. Dingin-dingin enak.
Kami melanjutkan perjalanan ke puncak selanjutnya.
Setelah puas mengambil gambar dan menikmati pemandangan, kami bergegas menyusuri jalur pendakian lagi, selanjutnya menuju puncak Syarif. Lagu yang cocok untuk kondisi saat itu adalah "Circle of Life"nya Lion King.


Matahari sudah melai merayap ke ketinggian. Pipi mulai terasa hangat. Saya bahkan mencopot jaket saya. Meski masih ngos-ngosan ketika mendaki, saya membulatkan tekad untuk mencapai puncak Merbabu yang lain: Syarif peak, Triangulasi peak dan the highest one - Kenteng Songo. Gambar di bawah adalah jepretan Frankenstein. Saya menyukai hasilnya.
Ooohhh...ada framenya! Mantep banget ya gambar hasil jepretan Frankenstein ini. Ini foto tanpa editing sama sekali loh! Pake kamera cellphone.

Sesampainya di puncak Triangulasi, saya merasakan pusing-pusing yang mulai menghebat, oh, saya dapat mountain sickness. Rasanya tidak menyenangkan. Selain pusing, perut juga mual, isi kepala serasa ditekan ke arah dalam, saya juga merasakan sensasi melayang. Hadeww...bahaya tuh! Frankenstein juga mengalami hal yang serupa, meski onsetnya sejam kemudian. Rupanya mountain sickness yang dia alami lebih parah dari saya. Seperti biasa, kami juga sering berhenti untuk beristirahat dan mengisi energi. Cracker yang saya bawa hampir habis: 90% saya yang memakannya. Hehe...maaph, Frankenstein, berada di ketinggian membuat saya laper.
Mekin lama medannya makin sulit, kami harus makin hati-hati menapakkan kaki.
Ya ampun! Bobby selaku leader nggak perlu pegangan ^_^;


Matahari terus merayap naik. Tapi, Bobby mengamati bahwa kabut mulai terbentuk di puncak Kenteng Songo. Untung bukan badai! Perjalanan dari puncak Syarif menuju Triangulasi tidak begitu menguras tenaga. Malah bisa dibilang, relatif datar landscape-nya. Kami juga bertemu dengan beberapa rombongan yang turun. Beberapa diantaranya ada yang memakai sandal cepit! Ya! Bodoh banget naik gunung menggunakan sandal cepit. Saya teringat pengalaman gladi bersih pelantikan Ukesma yang paling akhir. Saya memakai sandal cepit. Apa pasal? Saya belum punya sandal gunung dan sayang jika harus memakai sepatu pink saya (nah! sepatu lebih prioritas dari kaki tuh!). Sangat menderita. Sandal pink saya jebol yang sebelah kanan. Saya terpaksa meminjam sandal kapal nabi Nuh-nya Frankenstein. Untung nggak ikutan jebol. Kalo iya, saya nggak punya uang buat menggantinya :P.
Ini kami tinggal sebentar lagi menuju puncak yang paling tinggi loh! Hayoo...saya yang mana?


Eniwei, kabut mulai turun. Jalan mulai licin. Udara mulai dingin lagi. Saya buru-buru memakai jaket bulu angsa lagi. Gambar di bawah memang agak buram seperti itu karena kabut. Perjalanan mulai menanjak lagi. Track menuju ke Kenteng Songo harus memelipir jalan di pinggir gunung. Di kanan adalah tebing yang tidak terlalu terjal dan di sebelah kiri adalah jurang yang menganga. Saya cenderung berjalan menempel ke sebelah kanan untuk mengantisipasi terpeleset atau jatuh. Thanks to the gloves, saya bisa berpegangan nyaman.
Frankenstein pakai topi soalnya kabutnya dah mulai tebel dan cuacanya jadi sangat dingin. Harusnya pake ear muffler ya...Btw...topi yang saya pakai itu sebenernya punya Frankenstein loh!
Lihatlah kabut yang dah pada turun. Jarak pandang sangat terbatas. Kami harus berdekatan biar nggak ngilang.


Setelah memelipir sisi gunung, kami melewati track yang disebut Jembatan Setan. Namanya agak sangar sesuai dengan relitanya karena kami memang harus ekstra hati-hati melaluinya. Hanya ada panjatan kaki selebar kira-kira 20 cm dan pegangan batu-batu. Jembatan Setan adalah jalur sepanjang sekitar 10 meter yang wajib dilalui pendaki dengan hanya mengandalkan koordinasi kaki dan tangan untuk melangkah dan berpegangan. Saya berkali-kali meyakinkan diri untuk tidak memandang ke bawah.
Kami menyeberang di Jembatan Setan. Deg-degan huhuhu...


Terus dan terus menanjak. Siklus istirahat kami menjadi lebih pendek. Mendaki satu menit, istirahat 3 menit. Itupun rasanya kurang. Huff-huff... Saya sudah tidak memikirkan apa-apa lagi sampai kami tiba di sebuah dataran yang tidak ada tanjakannya sama sekali. Bahkan di sekeliling saya hanya berupa kabut putih saja. Tempat datar yang mempunyai batu-batu berceruk berisi air. OHH!! Kami sudah sampai di puncak Kenteng Songo! Saya langsung roboh (tepatnya merobohkan diri). Kepala saya sudah berdenyut-denyut. Pandangan saya sudah tidak fokus. Perut saya mual seperti habis naik roller coaster. Frankenstein berbaik hati meminjamkan kain sarungnya pada saya. Saya bahkan ditemani duduk bersender di dekat bebatuan. Teman-teman yang lain bereuforia berfoto-foto. Sayang kabutnya turun dan tidak mau hilang, pemandangan di sekitar puncak jadi tidak bisa diamati. Kami serasa berada di lingkaran pusat badai. Tenang, tanpa gejolak.


"It's the Circle of the Life
And it moves us all
Through despair and hope
Trough faith and love
Till we find our place
On the path unwinding"
Kami sudah sampai puncak Kenteng Songo!
Selamat Ulang Tahun Ukesma!
Eniwei, setelah membuat video ucapan selamat kepada Ukesma (ulang tahun ke 26), kami segera menyerang ransum makanan kami yang tersisa (tentu saja dengan tetap menyisakan untuk perjalanan pulang).

Ohh! Saya puas sekali akhirnya berhasil sampai puncak Merbabu, meski kali ini mountain sickness saya ikut mengambil alih indera saya yang lain. Teman-teman yang lain juga rupanya merasakan hal yang serupa. Tengok saja gambar di atas. Meski semuanya berwajah abstrak (belum mandi, belum sikat gigi, belum cuci muka, belum ganti baju dalam), perasaan bahagia tampak terpancar dari diri masing-masing orang. Nah, bagaimana perjalanan turun gunung kami? Apakah mountain sickness Frankenstein dan saya berhasil disembuhkan? Saksikan dalam postingan selanjutnya ya dengan judul Ekspedisi Merbabu Part 3: Kami adalah Sebelas Warriors.

OMAKE
Artikel di bawah ini saya salin-tempel langsung dari Wikipedia.com

Gunung Merbabu
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gunung Merbabu adalah gunung api yang bertipe Strato (lihat Gunung Berapi) yang terletak secara geografis pada 7,5° LS dan 110,4° BT. Secara administratif gunung ini berada di wilayah Kabupaten Magelang di lereng sebelah barat dan Kabupaten Boyolali di lereng sebelah timur, Propinsi Jawa Tengah.

Gunung Merbabu dikenal melalui naskah-naskah masa pra-Islam sebagai Gunung Damalung atau Gunung Pam(a)rihan. Di lerengnya pernah terdapat pertapaan terkenal dan pernah disinggahi oleh Bujangga Manik pada abad ke-15. Menurut etimologi, "merbabu" berasal dari gabungan kata "meru" (gunung) dan "abu" (abu). Nama ini baru muncul pada catatan-catatan Belanda.

Gunung ini pernah meletus pada tahun 1560 dan 1797. Dilaporkan juga pada tahun 1570 pernah meletus, akan tetapi belum dilakukan konfirmasi dan penelitian lebih lanjut. Puncak gunung Merbabu berada pada ketinggian 3.145 meter di atas permukaan air laut.

Gunung Merbabu mempunyai kawasan Hutan Dipterokarp Bukit, Hutan Dipterokarp Atas, Hutan Montane, dan hutan Ericaceous atau hutan gunung.

Jalur Pendakian
Gunung Merbabu cukup populer sebagai ajang kegiatan pendakian. Medannya tidak terlalu berat namun potensi bahaya yang harus diperhatikan pendaki adalah udara dingin, kabut tebal, hutan yang lebat namun homogen (hutan tumbuhan runjung, yang tidak cukup mendukung sarana bertahan hidup atau survival), serta ketiadaan sumber air. Penghormatan terhadap tradisi warga setempat juga perlu menjadi pertimbangan.

Jalur Wekas

Tim Skrekanek yang berjumlah lima orang ( Steve, Sigit, Bowo, Hari, Bayu) pertengahan Maret 2005 melakukan pendakian Gunung Merbabu melalui Jalur Wekas. Untuk menuju ke Desa Wekas kita harus naik mobil Jurusan Kopeng - Magelang turun di Kaponan, yakni sekitar 9 Km dari Kopeng, tepatnya di depan gapura Desa Wekas. Dari Kaponan pendaki berjalan kaki melewati jalanan berbatu sejauh sekitar 3 Km menuju pos Pendakian.

Jalur ini sangat populer dikalangan para Remaja dan Pecinta Alam kota Magelang, karena lebih dekat dan banyak terdapat sumber air, sehingga banyak remaja yang suka berkemah di Pos II terutama di hari libur. Wekas merupakan desa terakhir menuju puncak yang memakan waktu kira-kira 6-7 jam. Jalur wekas merupakan jalur pendek sehingga jarang terdapat lintasan yang datar membentang. Lintasan pos I cukup lebar dengan bebatuan yang mendasarinya. Sepanjang perjalanan akan menemui ladang penduduk khas dataran tinggi yang ditanami Bawang, Kubis, Wortel, dan Tembakau, juga dapat ditemui ternak kelinci yang kotorannya digunakan sebagai pupuk. Rute menuju pos I cukup menanjak dengan waktu tempuh 2 jam.

Pos I merupakan sebuah dataran dengan sebuah balai sebagai tempat peristirahatan. Di sekitar area ini masih banyak terdapat warung dan rumah penduduk. Selepas pos I, perjalanan masih melewati ladang penduduk, kemudian masuk hutan pinus. Waktu tempuh menuju pos II adalah 2 jam, dengan jalur yang terus menanjak curam.

Pos II merupakan sebuah tempat yang terbuka dan datar, yang biasa didirikan hingga beberapa puluhan tenda. Pada hari Sabtu, Minggu dan hari libur Pos II ini banyak digunakan oleh para remaja untuk berkemah. Sehingga pada hari-hari tersebut banyak penduduk yang berdagang makanan. Pada area ini terdapat sumber air yang di salurkan melalui pipa-pipa besar yang ditampung pada sebuah bak.

Dari Pos II terdapat jalur buntu yang menuju ke sebuah sungai yang dijadikan sumber air bagi masyarakat sekitar Wekas hingga desa-desa di sekitarnya. Jalur ini mengikuti aliran pipa air menyusuri tepian jurang yang mengarah ke aliran sungai di bawah kawah. Terdapat dua buah aliran sungai yang sangat curam yang membentuk air terjun yang bertingkat-tingkat, sehingga menjadi suatu pemandangan yang sangat luar biasa dengan latar belakang kumpulan puncak - puncak Gn. Merbabu.

Selepas pos II jalur mulai terbuka hingga bertemu dengan persimpangan jalur Kopeng yang berada di atas pos V (Watu Tulis), jalur Kopeng. Dari persimpangan ini menuju pos Helipad hanya memerlukan waktu tempuh 15 menit. Perjalanan dilanjutkan dengan melewati tanjakan yang sangat terjal serta jurang di sisi kiri dan kanannya. Tanjakan ini dinamakan Jembatan Setan. Kemudian kita akan sampai di persimpangan, ke kiri menuju Puncak Syarif (Gunung Pregodalem) dan ke kanan menuju puncak Kenteng Songo ( Gunung Kenteng Songo) yang memanjang.

Monday, 16 May 2011

Ekspedisi Merbabu Part 2: Perjalanan Menuju Tempat Nge-Camp

Inilah dia tim ekspedisi Merbabu. Total semuanya ada 11 orang, tiga diantaranya bukan anak Ukesma.
Starring: (starting for guest star)
Azis (kiri), anak Mapa, salah satu tukang dokumentasi baik gambar maupun video, ciri khasnya: body built yang muscular, tinggi rata-rata dan kereta api berjalan (tak pernah terlihat tanpa rokoknya). Fajrin (kanan), anak Mapa yang menjadi keeper di pos 2, tidak ikut naik ke puncak tapi menjadi penghubung komunikasi, sudah pernah merasakan puncak Merbabu. Rambutnya model samurai. Suka godain Novia
Lalu inilah para pemain utamanya!

Klepon (kiri), cowok yang kelihatannya ringkih dalam start pendakian awal, tapi ternyata tangguh juga. Ciri khas: rambut berantakan. Novia (kanan), paling sering ngajak istirahat ketika pendakian, juga paling sering meluncur tanpa hambatan ketika perjalanan turun (hehe...).
Malik (kiri), cowok pendiam yang selalu berpotongan rambut semi-emo, sebutannya: orang lokal. Lea (kanan), cewek pendiam yang ternyata bisa ramai kalau sudah berkumpul bersama Klepon dan Novia.

Adu...aduhhhh, saya nggak nemu foto Dintan dan Bobby sebelum berangkat. Kalo foto Dede semuanya pas pendakian. Ya, nggak papa ya, nggak saya tampilin. Terus tentu saja di bawah ini adalah Frankenstein dan saya (hehe...maaph ya, narsis). Perhatikan...helm saya adalah helm Hello Kitty hihihi...




Wih, dah seminggu lebih tampaknya kami selesai menaklukkan Merbabu. Sesuai janji, saya akan menceritakan kisah tentang eleven warriors yang berjuang mencapai puncak-puncak Merbabu. Puncak-puncak? Yup, seperti Everest (bandingannya terlalu jauh, hehe), Mt. Merbabu juga mempunyai beberapa puncak.

Dalam postingan sebelumnya dikisahkan tentang persiapan pra-pendakian, sekarang, setelah semua persiapan itu dilaksanakan, maka selanjutnya adalah eksekusi pendakian. Setelah sekali lagi berkumpul untuk berdoa dan berfoto-foto, Bobby menjelaskan secara singkat mengenai leader dan sweeper. Leader terpilih yang memimpin perjalanan adalah Bobby (otomatis) karena ia sudah cukup sering mendaki. Sweeper, yang berjalan terakhir dan paling buntut adalah Azis. Sebagai informasi, dari 11 orang climber (Bobby, Klepon, Malik, Novia, Lea, Dintani, Dede, Fajrin, Azis, Frankenstein dan saya), 66% adalah novice, kecuali Bobby, Fajrin dan Azis. Ketiganya adalah anak Mapagama. Bobby telah berbaik hati mengajak (semoga tidak dengan paksaan) kedua anak Mapagama untuk ikut merasakan naik gunung sekali lagi.


Bobby memperkirakan kalau kami akan sampai pos dua sekurang-kurangnya dalam waktu 4 jam perjalanan. Saya selalu berjalan di depan Frankenstein sedangkan Frankenstein hampir selalu berjalan di depan Azis. Kesimpulannya: Kami berjalan paling bontot. Sejujurnya, saya tidak terlalu menyukai kegiatan naik gunung (lebih suka rafting atau caving), tapi demi ambisi Frakenstein (dan Bobby) menaklukkan Mt. Merbabu sebelum wisuda, ya saya melakukannya.

:::Start of flash back:::
"Frankenstein, saya nggak diizinin naik sama orang tua saya", kata saya dengan wajah sedih.
"Apa? Kenapa?", tanya Frankenstein pendek.
"Mereka kuatir kalo nanti terjadi apa-apa", jawab saya masih dengan wajah sedih.
"Padahal saya semangat naik gunung kalo ada Pepper Pott loo", kata Frankenstein dengan nada fade-out.
"Ya gimana lagi dumz...", tukas saya seraya memasang tampang pasrah.
"..."
"...tapi saya akan tetap coba lagi", kata saya sedikit optimis.
Dan saya pun akhirnya diizinkan naik gunung Merbabu. YES!
Frankenstein sendiri sebenarnya tidak diizinkan naik gunung oleh kakak laki-lakinya, tapi dengan alasan bahwa sebentar lagi ia (Frankenstein) bakalan hidup di hutan selama sekitar 2 minggu, jadi pendakian kali ini tentu saja menjadi ajang latihan. Kalo alasan lainnya sih, sebenarnya ada: Frankenstein ingin berfoto dengan menggunakan toga saat di puncak. Di postingan sebelumnya, saya sudah menulis bahwa Frankenstein sebentar lagi wisuda, dan ia mempunyai ambisi mengenakan toga saat tiba di puncak Merapi. Yap! Gunung yang awalnya mau didaki adalah Merapi.

Tapi kemudian, Merapi sempat batuk-batuk sehingga rencana itu diurungkan dan akhirnya gunung terpilih adalah Merbabu yang letaknya "di sebelahnya" gunung Merapi. Rencana memakai toga pun diurungkan karena toga ternyata baru bisa dipinjam tanggal 12 Mei sedangkan pendakian dilaksanakan tanggal 7-8 Mei. Hehe... Ndak papa, toh naik gunungnya rame-rame.

Dalam postingan selanjutnya, saya menulis sampai setibanya kami di basecamp. Kami mulai mendaki Merbabu sekitar pukul 1430. Sebelumnya berdoa dan berfoto dahulu.
Oh, ya, ada satu gambar yang Frankenstein abadikan ketika kami sedang makan siang (yang udah kesorean) di basecamp.

 
Berfoto di depan basecamp, saya sudah pake perlengkapan lengkap. Sebagian besar barang-barang saya dititipin ke Frankenstein. Arigatou XOXO.
Makan siang di basecamp. Frankenstein bagus banget yak ambil gambarnya. Suasananya kerasa banget. Padahal, dapur basecamp itu nggak sebagus yang tampak di foto loh hihihi...
Kami mulai mendaki. Jalannya masih di aspal, saya harus hati-hati, takut terpeleset. Jalan bentar dah ngos-ngosan LOL.



Tanjakan pertama adalah jalanan yang dipadatkan dengan batu, ada juga jalan yang sudah di conblock (sangat licin karena berlumut, mesti hati-hati kalau melangkah). Kebetulan, track awalnya ini adalah tanjakan yang curam. Dalam waktu hanya 3 menit, sebagian besar dari kami sudah kecapekan, mandi keringat dan megap-megap kehabisan napas. Saya merasakan beban di punggung rasanya berton-ton beratnya. Tidak bisa memikirkan bagaimana halnya yang dirasakan Frankenstein (saya pikir pasti jauh lebih berat, sebagai informasi, carrier yang Frankenstein bawa itu isinya 90 liter dan penuh - bukan berarti beratnya juga 90 kg lo!). Saya hanya berjuang melangkahkan kaki yang satu di depan kaki yang lain. Begitulah satu persatu langkah saya cicil.


Malik dan Dintan, tampak ceria menapaki jalur pendakian.


Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali...ayo, berjuang, perjalanan masih jauh.

Kami sering berhenti untuk mengambil napas dan mengisi lambung dengan air. Sungguh! Yang namanya naik gunung itu adalah suatu perjuangan. Tiap berjalan 5 menit, kami berhenti sekitar 3 menit, seperti itu berulang seperti siklus. Ketika berhenti, saya selalu mengedarkan pandangan ke arah teman-teman saya dan juga pemandangan di sekitar. Danau Rawa Pening tampak luas di kaki gunung. Banyak bunga liar yang tangguh dan cantik menghiasi sisi gunung. Untuk pertama kalinya, saya tidak terlalu mengkhawatirkan serangga-serangga yang sering bikin gatal-gatal dan merah. Saya bisa duduk di mana saja, di rerumputan ataupun pokok kayu yang manapun. Saya senang karena hampir tidak ada sampah yang saya temukan di gunung ini. Meski tetap ada sampah macam bungkus Mizone ataupun cracker-craker dan biskuit. Saya memergoki beberapa kali tim ekspedisi Merbabu ini memunguti sampah-sampah itu. Sip!

Kami sering berhenti buat mengambil napas sejenak sekalian melihat pemandangan. Subhanallah! Kelihatan bagus semua ciptaan Allah.


Duduk dulu, mengaso sambil menikmati pemandangan terhampar, tak lupa mengisi energi dengan madu. Oh, you're so sweet, Honey!


Frankenstein dengan carrier 90 liter-nya. Yare-yare...

Hampir selama 4 jam (atau mungkin 6 jam, entahlah, orientasi waktu saya tidak oke), kami berjalan (dan beristirahat), akhirnya kami sampai di pos 2, pos ini berupa hamparan padang mendatar yang mempunyai sumber air yang dialirkan melalui pipa-pipa pralon. Kami langsung mendirikan tenda, jumlahnya ada 3. Udara sudah mulai dingin. Benar-benar dingin! Kalau tahu seperti ini, saya tidak akan menulis benar-benar dingin, karena nanti, suhunya FREAKING COLD, saya sepertinya freezing, memencet switch on-off senterpun saya tidak bisa. Oh tidaak!! Saya juga sempat pipis di pos dua ini. "Dimana saja bisa, Nyah", celetuk Bobby ketika saya tanya dimana orang-orang biasanya buang air.

Kami sedang makan malam, pake mie dan sosis. Apa aja terasa enak kalo lagi kelaperan ^_^;;


Setelah tiga tenda berdekatan berhasil didirikan, kami segera membongkar ransum makanan dan memasak makan malam dengan bahan seadanya dan penerangan seadanya. Untung Frankenstein membawa kompor, gas dan nesting sendiri, sehingga kami tidak membuang-buang waktu menunggu giliran memasak. Berhubung semua bahan logistik didistribusikan ke semua anak, maka kami semua mengumpulkan bahan-bahan tersebut ke salah satu matras dan mulai memilih bahan makanan sesuai selera. Disini, Bobby menunjukkan kebolehannya membuat pancake sederhana. Dalam hati saya berucap bahwa saya bisa membuatnya 4 kali lebih enak. Lebih lanjut (setelah kami turun gunung), Frankenstein mengatakan kalau pancake bikinan Bobby belum matang, pancake-nya masih rasa tepung dan bikinan saya lebih enak. Hihi...wah, arigatou, Frankenstein. Tapi ya, bukan pendaki namanya kalo tidak menyantap habis semua makanan di ketinggian 2800 mdpl. Kata Bobby, cuma ada rasa enak dan enak banget kalo kita ada di tempat yang penuh tantangan seperti itu. Sekilas saya merasa kalau kami sedang ada di tempat pengungsian dan bukan sedang berkemah lantaran tempat memasaknya berantakan dan acak adut. Setelah makan malam kilat, saya mengajak Frankenstein gosok gigi dan ambil air wudhu. Tidak ada anak lain yang menggosok gigi seperti kami. Sigh...mungkin mereka sudah menduga hal ini akan terjadi sehingga tidak perlu repot-repot membawa sikat gigi dan pasta gigi. Eniwei, kami segera solat Maghrib dan Isya dijamak. Sesudahnya, saya langsung merebahkan diri di tenda saya karena Bobby mengatakan bahwa kami sudah harus berangkat dari pos 2 menuju puncak sekitar pukul 0300. Saya sulit tidur, dan sepertinya yang lain juga begitu. Saya mencoba mengubah posisi tidur, bergulung di dalam sleeping bag tebal yang hangat (Frankenstein pilih yang tipis). Saya sering nibo-tangi (istilah untuk menyatakan kondisi tidur antara tidur-bangun-tidur lagi-bangun lagi terus-terusan), tidak sehat dan malah membuat pusing. Saya mendengar suara-suara obrolan di luar yang samar-samar bertopik tentang stargazing. Bobby kelihatannya tidak tidur, ia malah ngobrol sambil memandang langit. Sejujurnya, saya juga ingin melakukannya, tapi saya juga harus tahu diri. Saya merasa bahwa jika saya melakukan kehendak hati saya, saya mungkin tidak akan tahan harus mendaki sampai puncak karena stamina dan fisik saya dihabiskan untuk hal itu.

Baca terus ya Part 3 tentang Perjalanan Menuju Puncak!

Friday, 6 May 2011

Ekspedisi Merbabu Part 1: Final Check Pendakian Merbabu


Sebenarnya postingan ini sudah saya tulis sejak hari Jumat, tapi finishingnya memerlukan waktu yang cukup lama. Saya memutuskan membaginya menjadi 3 bagian, yaitu, pra-pendakian, pendakian dan pasca pendakian. Di Part 1 ini, saya akan menceritakan kejadian yang terjadi seputar pra-pendakian.

(Dari kanan ke kiri: Malik, saya, Dintan, Lea, Klepon, Frankenstein (pake jaket kuning, gampang banget dikenali hihihi...^_^), Novia, Bobby, Fajrin dan Azis. Berfoto di depan pintu masuk utara Gelanggang Mahasiswa UGM. Tanggal 07 Mei 2011 Pukul 1127 WIB.)

Hari ini (Jumat) saya mulai packing barang-barang dan perlengkapan yang wajib dibawa dan seharusnya dibawa saat pendakian nanti (pendakian merujuk pada aktivitas naik dan turun gunung). Ini adalah pendakian perdana saya, jadi saya ingin semuanya beres dan tidak merepotkan orang lain.

Menurut versi Bobby, yang sudah makan asam garam pendakian gunung, perlengkapan yang wajib dibawa antara lain:
1. Ponco (jas hujan yang model kelelawar ataupun yang model two-piece
2. Sepatu lapangan dan kaos kaki. Sangat tidak dianjurkan memakai sandal gunung apalagi sandal selop atau cepit. Sepatu lapangan sebaiknya yang masih baik, tidak bolong-bolong dan ukurannya pas di kaki. Sandal gunung sebaiknya tidak digunakan karena akan membuat kaki sakit tercepit bebatuan dan lecet karena gesekan dengan batu-batu kecil.
3. Senter dan baterai cadangan. Senter diperlukan selain untuk menerangi perjalanan juga dapat digunakan untuk tanda minta pertolongan.
4. Pakaian ganti. Udara di gunung relatif cepat berubah dan tidak dapat diprediksi, detik pertama terang, detik kedua sudah mendung dan detik ketiga bisa jadi hujan badai. Untuk mengantisipasi hipotermia dan ketidaknyamanan karena basah, satu set pakaian ganti mutlak diperlukan.
5. Makanan. Percayalah, makanan merupakan barang primer yang tidak boleh ditangguhkan bagaimanapun bentuk makanannya. Mulai dari kripik-kripik yang bunyinya meriah, sampai roti gandum yang tanpa rasa. Mulai dari makanan siap saji seperti cracker, sampai tepung terigu yang harus dicampur ini-itu untuk menjadi pancake sederhana. Yeah! Semua makanan terasa enak kalau kita berada di atas gunung!
6. Air mineral sekitar 3 liter. Air menyumbang beban yang cukup dominan di carrier kita. Massa jenis air sekitar 1 gram/cm kubik, atau 1000 kg/m kubik. Ini artinya, 1000 ml air sama dengan 1 kg air. Yeah! Karena masing-masing pendaki harus membawa minimal 3 liter air, jadi secara otomatis, beban 3 kg sudah menjadi kewajiban untuk dpikul.
7. Sleeping bag (SB). No kidding! Kantong tidur ini membuat kita seperti kepompong ulat. Pilih SB sebaiknya yang tebal. Cuaca yang sangat dingin dan terpaan angin malam tidak mampu ditahan oleh tenda dome saja.
8. Selendang atau syal. Hidung dan telinga lebih sensitif di daerah pengunungan. Syal atau selendang membantu melindunginya.
9. Sarung tangan. Selain untuk melindungi dari udara dingin, sarung tangan ternyata berguna juga untuk proses mendaki dan turun gunung. Batu-batu yang tajam dan duri-duri tanaman kadang bisa mengiris tangan tanpa disengaja.
10. Sandal. Mau ambil air wudhu, pipis di tangah malam, jalan-jalan bentar untuk sekedar stargazing? Sandal dapat mengakomodasi kita. Daripada memakai sepatu yang ribet, musti ikat sana, ikat sini, mending pakai sandal.
11. Jaket. Inevitable item! Wajib dibawa. Saya dipinjami jaket bulu angsanya Frankenstein. Hangat sekali!
12. Lilin dan korek. Sebenarnya, kalau sudah ada senter, lilin tidak diperlukan. Kalo korek api? Bobby dan Azis pasti bawa. Soalnya keduanya perokok.
13. Matras. Alas tenda dome sebenarnya sudah cukup sebelum SB digelar, tetapi ada baiknya dialasi matras dulu supaya kalor dari dan ke tanah tidak langsung bersentuhan dengan tubuh kita. Isolasi kalor menurut saya adalah salah satu faktor yang paling penting jika sedang mendaki gunung.
14. Alat makan. Minimal sendok dan piring. Kalau nesting, pisau lipat dan kompor lapangan plus tabung gas mini itu bisa menjadi perlengkapan tim. Tapi, Frankenstein adalah orang yang considerate, sehingga ia memutuskan untuk membawa nesting, kompor lapangan, pisau lipat dan tabung gas sendiri.

Selain perlengkapan pribadi di atas, perlengkapan tim juga perlu disediakan, meliputi:
1. Sekali lagi peralatan makan (nesting, pisau lipat, kompor lapangan, tabung gas mini).
2. Tenda kapasitas 4 orang (berhubung kami bersebelas, jadi tenda yang dibawa berjumlah 3 buah).
3. Rescue kit. Tentu saja obat-obat darurat mutlak diperlukan saat kondisi pendakian. Tabung oksigen juga sebaiknya dibawa untuk antisipasi kalau ada yang memerlukannya.
4. Ransum makanan. Saya bertanggung jawab terhadap ransum makanan. Berdasarkan menu yang disusun, makanan yang akan dibuat adalah nasi goreng dan pancake. Jadi bahan makanan yang dibawa meliputi: gandum, nasi (beli di basecamp), gula pasir, telur, baking soda, vanili, susu cair, mie instan, bumbu dapur (bawang merah, bawang putih, merica, cabai, masako, kecap, saus, garam), selai, sosis, minyak goreng atau margarin, sayur-sayuran (wortel atau sawi). Saya juga membawa suthil dan wajan saya, yang langsung diturunkan kembali oleh Bobby. "Nggak usah bawa wajan, Nyah! Udah ada nesting", tukasnya.

Nah, itulah berbagai peralatan minimal yang sebaiknya dipersiapkan oleh para climber sebelum pendakian. Lain lagi cerita saya, saya "memaksa" untuk membawa toileteries (termasuk sabun mandi, sabun cuci muka, pasta gigi, sikat gigi, tisu basah, handuk dan krim sunblock) yang langsung mendapat guyuran tawa oleh pada pendaki yang lain. Biarin! Saya pikir saya tidak akan tahan kalau tidak cuci muka ataupun gosok gigi nantinya.

Eia, Frankenstein juga berinisiatif membawa bendera Ukesma dan UGM. Kami bermaksud berfoto dengan bendera itu saat di puncak nantinya. Yeah! Btw, si Malik salah bawa bendera (sebenarnya tidak salah juga siy), dy bawa bendera Unit PPPK (itw nama lama Ukesma). Hehe.

Tak henti-hentinya saya menulis bahwa ini akan menjadi pendakian perdana kami (Frankenstein dan saya), jadi kami iseng-iseng mencari keterangan tentang bagaimana mem-packing barang-barang bawaan kami. Ternyata packing barang ke dalam carrier itu tidak boleh asal dan ada tekniknya. Kalau mem-packing asal, pundak dan tulang belakang menjadi korbannya. Dan setelah packing yang bikin keringatan karena keseringan bongkar-pasang, dua tas carrier 90 liter (no kidding) telah menunggu untuk digendong di punggung. Malam sebelum pendakian, kami tidur lebih awal supaya tidak bangun kesiangan.

(Drum rolls!) Pagi hari yang cerah disambut dengan suka cita. Kami berdua sarapan terlebih dahulu. Nyam-nyam-nyam. Bobby sudah menginstruksikan supaya kami datang jam 0900 untuk mem-packing ulang carrier kami. Berhubung kami sudah melakukannya sehari sebelumnya, jadi sepertinya nggak perlu diulang (begitu pikir kami, pikiran yang kemudian ternyata harus ditangguhkan). Saya kesulitan membawa carrier saya sendiri. Sebagai informasi, carrier saya ternyata memiliki berat 25 kg! Saya sudah menimbangnya sendiri. Mengerikan! Saya selalu limbung saat membawanya. Bobby hanya tertewa melihatnya. Frankenstein dan saya kemudian disuruhnya membongkar ulang barang-bawang bawaan kami. Sebagian besar bawaan saya ternyata dibagikan ke teman-teman yang lain, sehingga total barang bawaan saya menjadi hanya 5 kg. Ohh, leganya! Tenda dome beserta kerangkanya, ransum makanan bahkan peralatan memasak ternyata dapat berpindah tempat ke carrier teman-teman yang lain. Thumbs up, Bob!

Setelah memastikan tidak ada yang ketinggalan (kalau wajan saya sengaja ditinggal), kami bersepuluh (satu orang nanti bergabung pas sampai Magelang), berfoto terlebih dahulu di depan gelanggang (thanks to Purbo) dan berdoa bersama. Perjalanan menuju Magelang pun dimulai. Selama kurang lebih 2 jam perjalanan, kami akhirnya sampai di basecamp. Basecamp terletak di ketinggian sekitar 2700 mdpl. Dingin! Sesampainya disana, kami segera sholat dhuhur dan asar (dijamak) dan makan siang (telat banget makan siangnya!). Sekitar pukul 1430, Bobby mengumumkan bahwa kita harus bersiap-siap berangkat supaya sesampainya di pos 2 kami tidak kemalaman.

Bagaimana perjalanan kami menuju puncak? Apakah kami sampai hingga puncak tertinggi Merbabu? Ikuti terus kisah kami di Ekspedisi Merbabu Part 2: Perjalanan Menuju Puncak. (Ya ampun, bahasa poster film tuh!)

Thursday, 5 May 2011

Polisi yang Tidak Pernah Korupsi dan Paling Taat Peraturan



Siapa dia? Sebenarnya ada dua, salah satunya seperti yang terpampang di sebelah kanan ini dan satunya lagi bernama patung polisi. Hihi. Postingan ini terinspirasi oleh maraknya polisi tidur yang bergelimpangan di area kosan saya, Frankenstein dan sebagian besar area kosan anak-anak UGM yang budiman. Dari daerah Sagan, Karang Malang, Deresan, Jalan Kaliurang, Pogung (Kidul, Rejo, Dalangan, Lor, Baru), Sekip, Bulaksumur, Sendowo, dst-dsb-dkk semua berhiaskan polisi tidur. Ya ampun, mereka suka banget tidur-tiduran!

Saya pribadi sebenernya lebih sering dibuat kesel daripada di'bebani' manfaatnya (ya mungkin saya kurang bisa memaknai makna polisi tidur). Dia sering bikin saya kaget karena terlalu tinggi dan terlalu sering penempatannya. Kayaknya motor saya juga jadi mudah terhentak-hentak dan berbunyi aneh (itu bukannya karena jarang diservis ya, Pepper Pott? - kata hati Frankenstein). Nah, saya mengambil sebuah postingan dari website lain menganai polisi tidur ini. Naskah asli dapat dilihat disini. Saya langsung salin-tempel.
Polisi tidur adalah gundukan atau tanggul yang dibuat melintang di tengah jalan untuk membatasi kecepatan laju kendaraan. Walaupun posisinya tidur, tapi dia siaga setiap saat, sepanjang hari sepanjang malam memberi peringatan kepada para pengguna jalan yang melewatinya untuk memperlambat laju kendaraannya. Polisi tidur ini terutama banyak dijumpai di jalan jalan lingkungan pemukiman atau perumahan. Tapi fenomena saat ini, selain di lingkungan pemukiman, polisi tidur sudah banyak ditemui di mana mana, di jalan jalan lokal di dalam sebuah kota. Saking demikian banyaknya, mungkin sudah bisa dikatakan bahwa sekarang ini sudah mewabah pembuatan polisi tidur yg dilakukan oleh masyarakat.

Keberadaan polisi tidur yang tak tidur ini sebenarnya sudah sama sama kita ketahui mempunyai dampak positif dan negatifnya. Kendaraan yang melewati jalan ini akan hati hati/pelan pelan adalah tujuan utamanya atau dampak positifnya. Sedangkan dampak negatifnya adalah apabila polisi tidur ini dibuat sedemikian rupa, seperti terlalu vertikal, terlalu besar, kasar dan asal jadi maka akan membuat kendaraan yang melewatinya susah, jalan jadi cepat rusak dan di jalan yang mobilitasnya tinggi akan menimbulkan kemacetan/antrian. Belum lagi keluhan dari para ibu hamil, orang sakit yang pergi berobat melewati jalan itu, dan berbagai umpatan dari orang yang emosional. Pada intinya hal ini sangat mengganggu sekali bagi para pengguna jalan.

Sebenarnya pembuatan polisi tidur ini diatur dalam Kepmenhub No. KM3 tahun 1994. Polisi tidur hanya boleh dibangun di tiga tempat yaitu :
1. Jalan di lingkungan pemukiman.
2. Jalan lokal dengan kelas III C (kekuatan di bawah 5 ton).
3. Pada jalan jalan yang sedang dilakukan pekerjaan kontruksi.

Namun dalam kenyataannya, banyak masyarakat yang membuat polisi tidur tidak memperhatikan peraturan yang ada. Semisal kontruksi yang dibuat asal jadi, tidak pernah meminta izin ke pihak yang berwenang dalam hal ini dan tidak dilakukan pengecatan.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, polisi tidur harus memenuhi syarat syarat sebagai berikut:
Dibuat memanjang dan melintang seperti travesium.
Tinggi maximum 12 cm.
Bagian pinggir mempunyai kelandaian 15%.
Dicat warna hitam dan putih dengan komposisi.
• Hitam panjang 30 cm.
• Putih panjang 20 cm.
Meminta izin ke dinas perhubungan.

Atas dasar itulah mungkin sebaiknya pembuatan polisi tidur harus dipikirkan secara matang terlebih dahulu. Selain memang ada dampak positif, tapi juga ada dampak negatifnya. Bahkan kalau kita melihat dari kacamata agama bahwa :
1. Orang yang sedang dalam perjalanan sebenarnya dalam posisi sebagai orang yang dimuliakan, dimudahkan oleh Tuhan. Makanya sangat tidak sesuai jika kemudian kita malah menghalangi dan mengganggu perjalanan seseorang.
2. Tidak diperbolehkannya membangun sesuatu di atas tanah milik orang lain. Sedangkan jalan adalah milik negara yang merupakan hak orang banyak. Oleh karena itu tidak ada hak kita untuk membangun sesuatau di atasnya termasuk polisi tidur.
3. Dan yang paling bahaya apabila kita dianggap mengganggu perjalanan orang dan di situ ada dosa kecil yang dibebankan kepada kita, maka bayangkan berapa ribu orang yang terganggu, berapa ribu dosa kecil yang harus kita tanggung dalam sehari, sebulan, setahun.

Kencan dengan Konservasi

Not my patient's but just ilustration ^_^


Saya mau mencoba menulis postingan untuk satu hari ini dalam hari yang sama. Berhubung saya kuatir kalau-kalau nanti koneksinya lemot (maklum beli paket internet yang murah), jadi saya mau mereviewnya sekarang aja.

Mulai hari ini saya secara official mulai ada di stage Konservasi Gigi (meski saya inhal). Saya mendapat jatah waktu satu setengah bulan untuk menyelesaikan segala prerequisites saya (baca postingan sebelumnya). Banyak sekali yang harus saya lunasi, termasuk mahkota jaket, perawatan saluran akar, tumpatan klas IV dan log. Hyah-hyah-hyah! Bahkan log haripun saya inhal. Semangat!!

Saya hari ini menambal gigi seorang pasien. Kavitas klas I resin komposit. Ok-ok aja! Sip, I think I'm doing good here. Saya juga sudah kontrol pasien GTSL (Gigi Tiruan Sebagian Lepasan) saya. Psst! Bahkan ditraktir maem di Feskul. Hyah, betapa beruntungnya saya hari ini. Alhamdulillah. Lain kali lagi ya, Bu (Nih ngelunjak! Menghindar sambitan celurit Nila. Hehe). Yeah, tapi yang terpenting Arigatou gozaimasu!

Sebenarnya hari ini saya ada dua pasien konservasi. Tapi yang satu belum bisa ditambal hari ini, jadi janjian buat hari Senin. Moga-moga aja lancar. Kayaknya juga bisa di ekso gigi kanan dan kirinya. Itu buat Nila dah.

Hmm, speaking of which. Hari ini Frankenstein kepalanya pusing, jadi setelah bangun pagi, dilanjutin bobo lagi. Agendanya hari ini? Saya rasa dia mengurus pin ATMnya. Yep, semua memang gara-gara saya (baca postingan sebelumnya). Maaph ya, gomen nasai. Eia, hari ini tim pendakian Merbabu ada briefing lagi loh, kayaknya mau final check. Saya juga besok berencana belanja konsumsi selama kami mendaki Merbabu. Psst, saya akhirnya berhasil meyakinkan ibu dan ayah saya supaya mengizinkan saya naik Merbabu. Awalnya soalnya belum boleh. Tapi alhamdulillah dah dibolehin. Eia, ini Insya Allah akan menjadi pendakian perdana saya. Saya mau coba pakai carrier yang tingginya hampir sama dengan tinggi badan saya. Hehe.

10 Manfaat Merokok

Yeah! The irony.

Saya tertawa membaca postingan ini. Credit goes to this site. Saya posting ulang disini dengan harapan pembaca juga ikutan nyengir dan merenungkannya. Hihi!

Postingan ini langsung saya salin-tempel dari website-nya.
Ane mau share aja MANFAAT MEROKOK bagi kita :
1. Menandakan kalo kita itu sehat. Kalo ga sehat ga enak kan gan rasanya
2. Memperlancar program pemerintah Keluarga Berencana (KB). Merokok kan menyebabkan impotensi dan gangguan kehamilan
3. Mengurangi tindakan kriminal. Belum pernah liat kan gan, orang ngrampok sambil ngerokok
4. Mengurangi tindakan asusila. Belum pernah juga kan gan liat kasus pemerkosaan si tersangka sambil ngerokok
5. Sunnah Rasul (bagi yang muslim). Nabi kita kan umurnya cuman sampe 60an. Kalo kita ga ngerokok mungkin lebuih tu gan
6. Memperkaya devisa negara. Bayangin aja gan kalo sebungkus rokok harganya Rp. 10.000an. Itung sendiri deh gan abis berapa bungkus shari di Indonesia
7. Membantu petani tembakau. Kasian gan,mereka juga pengen naik haji
8. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Kan lagi marak tuh gan beasiswa dari merek rokok terkenal
9. Pengharum ruangan. Saat kita (map ya gan) lagi BAB, rokok bisa membantu menyamarkan bau tidak sedap
10. Penghibur. Buat agan2 yang udah selesai baca thread ini, pasti ketawa ya minimal nyengir lah

This Wednesday, Let's Work Out!


Hujan. Pagi hari ini - bermula dari sekitar subuh - dimulai dengan hujan.
Saya menyukai hujan. Frankenstein adalah rainman. Sering sekali ketika harus bepergian - jarak pendek maupun jauh - hujan menyertai perjalanan. Kalau di Jepang, istilahnya jadi ameotoko. Hujan akhir-akhir ini durasinya awet. Sebaiknya selalu membawa jas hujan atau payung ketika hendak keluar kamar kosan ataupun rumah. Jika hujan seperti ini terjadi di ibukota, saya percaya (Frankenstein yang bilang) banjir tidak akan terelakkan. Pernah suatu waktu, hujan turun secara mendadak, awet dan deras di bumi Yogya, sebagian besar air tidak bisa tertampung ke selokan, yang saya percaya terkongesti dengan sampah ataupun memang tidak ada selokan. Loh? Kenapa tidak ada jalur evakuasi air? Mungkin akibat pembangunan yang kurang terencana, asalkan bangunan sudah memberikan keuntungan praktis dan ekonomis (misalnya kos-kosan atau kontrakan), hal-hal remeh temeh seperti selokan dan tempat sampah tidak akan ada. Sigh! Sungguh bijaksana (sarkasme)!

Seperti biasa, saya ingin mereview apa yang sudah terjadi seharian ini. Sebanarnya saya ingin refleksi diri dengan cara menuliskan postingan di blog ini setiap malam, tapi kalau malam, modemnya entah kenapa kurang bisa diajak kerja sama. Sigh! Tak mengapa. Dengan segala keterbatasan, hal-hal sederhana tetap bisa dilakukan asalkan ada niat. Hehe.

Oke, hari ini Nury-chan akan berangkat ke GSP untuk tes tahap 1. Ia mendapat panggilan sebagai CPNS. Semangat, Nurychan! Ganbatte kudasai. Saya mendaftar ke bagian Konservasi dan belum beruntung karena drg. Tita belum rawuh. Saya menunggu beliau sambil membaca buku ringan yang hampir selalu saya bawa kemana-mana. Selagi menunggu, saya akhirnya berpindah tempat karena tempat menunggu sering dilewati oleh dosen ataupun mahasiswa. Saya tidak terlalu suka kegiatan membaca didistraksi dengan adanya keharusan untuk beberapa detik sekali mengangkat muka mengecek siapa yang sedang berjalan melewati saya. Kalau ini lebih karena kebiasaan. Oke, saya berpindah posisi ke dekat lab Research. Beruntungnya saya, tidak terlalu banyak orang yang 'berkeliaran' di tempat ini. Beberapa saat kemudian, salah satu teman satu kelompok saya, Sania, muncul dan menyapa saya. Sania sudah lulus dilantik menjadi dokter gigi kemarin. Selamat ya, Sania. Dia merencanakan akan pulang kampung terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan besar selanjutnya: Mengabdi kepada negara.

Saya disuguhi cerita tentang 'Kasus sembilan warrior yang terpaksa harus mengulang ujian KGA'. Ya ampun! Ada sebagian porsi yang saya sendiri tidak mampu menahan gelengan kepala, mengelus dada dan berkali-kali mengucap astagfirullah. Allah bersama orang-orang yang sabar. Buat teman-teman saya yang sedang didhalimi, bersabar yaa~~ Saya mendukung kalian.

Oke, kembali lagi yak. Setelah lewat jam istirahat siang (kerap disebut rolasan), saya pergi menemui drg. Tita yang ternyata sudah duduk manis di cubicle-nya. Sip, saya kemudian mendaftar dan melunasi administrasinya. Saya diberikan durasi waktu 1,5 bulan untuk menyelesaikan semua requirement Konservasi saya. Ganbatte atashi! Selagi beliau menuliskan ini-dan itu pada ertas-kertasnya, saya ditanyai dari mana asal saya dan kenapa saya sudah tidak lagi memakai kaus kaki hitam panjang.

Ya ampun! Dia ingat. Saya memang sangat menyukai kaos kaki. Dari semua wearable fashion, saya paling suka kaos kaki (nulisnya yang bener kaos atau kaus siy?). Akhir-akhir ini saya belum memakai lagi karena sebagian besar kaos kaki itu memerlukan penggantian. Ada yang sudah molor dan sudah berlubang-lubang. Hehe.
"Kenapa kamu nggak pakai kaos kaki lagi?", tanyanya sambil menuliskan persyaratan apa saja yang saya belum penuhi.
"Eh?", saya agak bingung. Bingung akan fakta bahwa beliau ingat. Jangan-jangan ini salah satu cara untuk menjadi dosen yang baik: rajin memperhatikan keanehan mahasiswanya.
"Kan itu ciri khasmu. Preppy look", lanjutnya kalem. Kali ini sedikit mengerling saya.
"Ya itu...", kata saya mengambang mencari jawaban yang oke.
"Jangan dihentikan. Itu oke kok", lanjutnya lagi.
"Ya, saya pikir iya", kata saya lemah sambil tersipu-sipu, menemukan suara saya lagi. Duh! Saya sedang gembira sekali. Ternyata ada dosen yang mengingat saya - meski karena gaya berpakaian saya. Hihi! Frankenstein kadang mengingatkan kalau saya memang gampang diingat karena dari sekian banyak orang, yang berdandan model Harajuku memang cuma satu orang, yaitu saya. APA? Masak sih gaya saya Harajuku? Aiyaaa.....maaph ya (:P)

Selepas dari kampus, saya kembali ke kosan karena ada janji dengan Frankenstein. Dia akan memulai sesi renangnya lagi. Kali ini dengan kacamata barunya. Heya-heya. Secara umum, progress-nya sudah membaik. Frankenstein sudah dapat mengkoordinasikan gerakan tangan dan mengambil napas. Tapi ia kurang tertib. Saya selalu menginstruksikan gerakan dayung gaya katak. Tapi ia lebih sering mem-paddle kakinya seperti gerakan kaki gaya bebas. Tidak heran ia cepat capak dan ngos-ngosan. Gaya bebas itu ibaratnya lari sprint. Memang cepat, tapi stamina cepat terkuras. Kalo gaya katak itu lebih konservasi energi. Mengangguk-angguk dengan air keluar menyembur-nyembur dari mulut dan hidungnya, ia akhirnya mengajak pindah tempat ke kedalaman 1,5 meter. Berhubung Frankenstein sudah membeli kacamata sendiri, itu tidak merepotkan saya. Kesimpulannya: lebih tertib untuk mencapai gerakan gaya katak yang mulus dan lancar.

Malamnya, ada satu kejadian yang bikin saya jengkel kepada diri sendiri lantaran tidak bisa menggunakan mesin ATM dengan benar. Saya salah memasukkan pin 3 kali, dan yang terjadi adalah ATM terblokir. Frankenstein mengatakan kalau itu adalah salah satu cara proteksi ATM. SIGH~~ Saya baka banget barusan!.

Wednesday, 4 May 2011

Circle of Life - Lion King

 

Pepper mau posting lagi!
Hiyaah~~ Ini postingan kedua dalam sehari ini. Saya mau memposting satu lirik lagu yang saya sukai sejak SD. Lagu ini adalah soundtrack opening film Lion King bikinan Disney. Saya sudah nonton lebih dari 25 kali dan tetapi nangis lebih dari 25 pula ketika nonton film ini. Tapi yang bikin saya jatuh cinta adalah soundtracknya yang oke-oke. Pengisi suaranya juga pas dengan karakter yang mereka bawakan. Duet Timon dan Pumbaa juga entah kenapa selalu bikin saya ngakak! Hihihi!

Kalau mau donwload atau iseng-iseng mendengarkannya bisa klik disini
Baiklah, langsung saja ya.
Music by Elton John, lyrics by Tim Rice
Performed by Carmen Twillie
Judul: Circle of Life

Nants ingonyama bagithi Baba [Here comes a lion, Father]
Sithi uhm ingonyama [Oh yes, it's a lion]

Nants ingonyama bagithi baba
Sithi uhhmm ingonyama
Ingonyama

Siyo Nqoba [We're going to conquer]
Ingonyama
Ingonyama nengw' enamabala [A lion and a leopard come to this open place]

[Chant repeats]

From the day we arrive on the planet
And blinking, step into the sun
There's more to see than can ever be seen
More to do than can ever be done
There's far too much to take in here
More to find than can ever be found
But the sun rolling high
Through the sapphire sky
Keeps great and small on the endless round

It's the Circle of Life
And it moves us all
Through despair and hope
Through faith and love
Till we find our place
On the path unwinding
In the Circle
The Circle of Life

It's the Circle of Life
And it moves us all
Through despair and hope
Through faith and love
Till we find our place
On the path unwinding
In the Circle
The Circle of Life

Bangun Pagi, Early Bird - chirp chirp



Review kegiatan kami kemarin!
Bangun pagi lebih menyenangkan daripada bangun siang. Lebih terasa segar. Lebih banyak aktivitas yang bisa diselesaikan. Tapi bukan berarti bangun pagi semudah yang saya tulis di postingan ini. Bangun pagi memerlukan suatu determinasi, (destinasi dan deliberasi kalau mau Apparate, hihi). Niat yang kuat sampai akhirnya menjadi suatu kebiasaan dan bahkan kebutuhan. Frankenstein sudah mencoba untuk bangun lebih awal sehingga bisa berlari keliling blok, meski belum rutin. Kadang ada upside dan downside-nya. Tapi gapapa. Saya terus dukung ko.

Kemarin temen-temen saya yang sudah menyelesaikan semua prerequisites kepaniteraan akan dilantik, diambil sumpahnya berkenaan dengan gelar barunya, yaitu dokter gigi. Sip! Saya mendoakan kesuksesan kalian sekarang dan kemudian. Selamat ya! Saya juga harus berjuang menyusul keluar dari rahim ibu ini dan mulai merasakan hidup tanpa supervisi dari dosen pembimbing.

Kemarin saya kembali mengajak tiga orang pasien orto saya (sebut saja BE, BO dan NP) untuk menggerakkan semangat saya mengerjakan orto. Saya merasa sangat bersalah sudah "menelantarkan" ketiga pasien ini lantaran saya dengan egoisnya masuk inhal di stage KGA (Kedokteran Gigi Anak). Sumimasen desu~~

Setelah BO saya kontrol (sepertinya buccal retractor-nya belum menunjukkan kesaktiannya), NP datang dan saya cetak untuk dibuatkan study model dan work model (ya ampun, istilah teknis semua). Sayang BE tidak bisa datang. Dia adalah pasien warisan saya. Saya juga mengurus inhal konservasi. Saya bertekad terus bergerak supaya tidak "mati". Sebenarnya kemarin Frankenstein hendak berenang, tapi berhubung dia (sepertinya) ketiduran, dan ternyata benar ketiduran, maka sampai sore, setelah panggilannya berkali-kali saya reject (saya marah), saya baru mengangkat telepon seluler saya.

Oh, ya, ada salah satu teman saya dari Semarang yang berencana menginap satu hari karena ada acara hari Rabu-nya di GSP. Malamnya, Bobby mengumpulkan kami untuk briefing H-4 sebelum pendakian Merbabu. Yep! Awalnya, gunung yang ingin ditaklukkan adalah Merapi, tapi beberapa hari terakhir dia batuk-batuk lagi, jadinya tujuan pendakian dialihkan ke Merbabu. Sudah tidak sabar! Saya ditunjuk sebagai bagian konsumsi. Tidak heran! Dan H-1 nanti saya harus sudah belanja sesuai menu yang telah disepakati.

Sebenarnya ide naik gunung ini tercetus begitu saja oleh Frankenstein (dan Bobby). Mereka ingin berpose di puncak dengan memakai toga (kan saya dah pernah bilang kalau Frankenstein tinggal nunggu wisuda). Tetapi rencana gila itu harus ditangguhkan karena Merapi batuk dan toga ternyata tidak seenteng yang dikira. Ini akan menjadi pengalaman pertama Frankenstein naik gunung. Saya? By default, yes.

Jadi, nantikan pengalaman kami pas naek gunung yaa~~

Tuesday, 3 May 2011

Modem Warisan dan Pelajaran Berenang Frankenstein

Bukan iklan loh ^_^; tapi itu adalah penampakan modem yang diwariskan ke saya.


Pepper on air!
Saya sepertinya orang yang sedang beruntung. Setelah ngidam modem beberapa saat (tapi saya pendam saja karena ga mau ngrepotin semua orang), saya akhirnya mendapatkan modem dengan cara yang tidak saya duga. Tapi, yaa...berhubung sudah saya jadikan judul postingan, jadi nggak bakalan penasaran bagaimana cara saya mendapatkannya.

Yep! Saya mendapatkan modem melalui pewarisan, tepatnya, modem itu tidak pernah digunakan lagi sama Numa (adik perempuan saya) ataupun Ceni-ceni (adik laki-laki saya).

"Nih! Kami dah ga butuh. Di rumah dah ada speedy. Lebih cepet", ujar Numa kala itu.

"Tadinya mau tak jual ke temenquw. Murah meriah", sambungnya, "Tapi aquw mikir kan kamu belum punya modem"

"APA?! Belum mbok jual to? Padahal temenquw juga ada yang mau beli loo!", timpal Ceni-ceni yang tiba-tiba masuk ke pembicaraan.

"Aquw bilang pada temenquw itw kalo modemnya dah dibeli sama temen mbakquw", lanjutnya sedikit suprise.

Ceni-ceni melihat Pepper Pott kemudian berkata, "Tapi yaudahlah, buat kamu aja".

Pepper Pott tersenyum sangat lebar. "Gee, arigatou, kalian adik-adikquw yang paling baik".

Jadi begitulah bagaimana saya sekarang sudah bisa mem-posting "Modem Warisan" ini. Dan siapa tahu mulai sekarang akan banyak lagi obrolan penting (dan mungkin kurang penting atau nggak penting) yang akan saya cerocoskan di blog ini. Hehehe.

Oke, tentang update berita: Frankenstein sudah pendadaran (selamat ya), terus ujian kompre - perlu coba dua kali sebelum lulus (daijoubu!) dan sekarang sedang leha-leha menunggu wisuda. Sebenarnya nggak leha-leha juga siy. Beberapa hari sekali, Frankenstein jogging keliling blok untuk meningkatkan staminanya. Frankenstein mulai membiasakan jogging supaya raganya (dan jiwanya) siap menerima segala bentuk diklat yang akan diterimanya (Insya Allah) beberapa saat lagi.

Frankenstein juga berlatih berenang. Tidak perlu jauh-jauh mencari pelatih renangnya, karena saya bisa melakukannya, gratis pula (xixixi). Pada dasarnya, Frankenstein sudah bisa mengimplementasikan dasar-dasar gerakan berenang, tetapi mengkoordinasikannya secara berulang dan tertib rasanya adalah satu hal yang lain. Gerakan mendayung dengan kaki, awalnya dilakukan dengan telapak kaki yang tentu saja tidak akan membawanya maju membelah air, tetapi setelah saya koreksi, dia bisa melakukannya dengan punggung kaki. Gerakan meluncurnya masih sering miring ganti haluan, tetapi sudah cukup jauh. Progress yang perlahan menunjukkan hasil adalah koordinasi tangan dengan gerakan kepala untuk mengambil napas. Untuk bagian ini, Frankenstein harus berjuang mati-matian karena ia cenderung lupa untuk mengambil napas ketika kepala diangkat dari kedalaman air. Tahu apa yang dilakukannya? Ia membuang napasnya. Dan ketika kepala tercelup lagi ke air, ia lupa sama sekali kalau ia barusan seharusnya mengambil napas. Sebagai gerakan lanjutnya, dia panik, menghentikan siklus gerakan renang dan megap-megap mengambil napas. Untung hal itu dilakukannya pada kedalaman 1,5 meter. Fyuuh! Eia, Frankenstein juga sudah membeli kacamata renang yang oke. Lebih oke daripada kacamata renang saya. Ayo, Frankenstein, ganbatte!!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...