Pages

Thursday 19 May 2011

Ekspedisi Merbabu Part 3: Perjalanan Menuju Puncak

Dan begitulah, sekitar pukul 0200, saya mendengar suara di luar tenda memanggil-manggil untuk bangun. Suara Frankenstein ternyata. Dia sudah bangun duluan dan mengajak saya membuat sarapan (atau malah saur). Hehe...saya tahu wajah saya pasti abstrak karena saya tidak sisiran dan tidak memcuci muka. Meski tidak ada yang meributkan tampang saya pagi itu, saya menyediakan waktu khusus untuk menyisir rambut ruwet dan mengulang mengikatnya. Suhu udara, jelas dingin (seakan dingin saja tidak cukup melukiskannya), napas teman-teman dan saya sendiri ternyata beruap. huff-huff...puff-puff...Sejenak saya melihat ke angkasa. SUBHANALLAH! Oh, saya sungguh makhluk kecil yang tidak berdaya diantara taburan bintang-bintang yang luas biasa luas dan indah. Saya punya pikiran mendadak ingin berbaring selama mungkin hanya untuk memandangnya dan berniat membeli satu teleskop untuk mengamatinya.

"Pepper Pott, ayo, mulai bikin mie lagi", kata Frankenstein menyadarkan dimana posisi saya sekarang. "Oh, oke, ayo", kata saya mengiyakan. Saat itu, perut saya terasa sembab, sakit dan tidak nyaman. Saya merasa kalau saat-saat rutinitas pagi saya akan segera muncul, tapi saya mensugesti diri saya supaya hal itu diurungkan untuk saat-saat ini, mengingat saya tidak bisa membayangkan bagaimana harus pup dalam kondisi seperti ini. Seperti biasa, kami makan dengan kecepatan yang mengagumkan. Bobby menyuruh kami mem-packing ulang bawaan karena sebagian besar barang-barang akan "dititipkan" di pos 2 ini, dengan Fajrin sebagai keeper-nya. Tenda dome otomatis ditinggal. Total orang yang akan naik adalah 10 orang, sehingga carrier atau backpack yang dibawa otomatis jumlahnya lebih sedikit. Saya berpasangan dengan Frankenstein. Hanya minuman dan makanan secukupnya yang dibawa. Tak lupa alat sholat dan bendera Ukesma, piranti kami bernarsis ria di puncak nantinya. YES!

Meski perjalanan menuju puncak membawa beban yang jauh lebih ringan, saya malah lebih ngos-ngosan. Saya bahkan tidak memanggul tas di punggung saya! Frankenstein yang membawakannya. Tapi-tapi-tapi, saya malah merasa lebih lemah, gemetar dan sering berhenti dalam perjalanan menuju puncak, saya sering terbungkuk-bungkuk kecapaian. Azis yang bertugas sebagai sweeper bahkan menyarankan saya berjalan di depan supaya tidak terlalu ketinggalan. Kami sering berhenti untuk beristirahat kilat, yang biasanya dilakukan atas permintaan Novia. Saya tidak pernah meminta berhenti karena saya tidak bisa memunculkan suara yang layak kecuali suara napas ngos-ngosan saya sendiri. Dintan sempat melakukan rutinitas paginya di sela-sela waktu istirahat kami. Klepon, Lea dan Dede sepertinya oke-oke saja meski mereka juga tampak sedikit ngos-ngosan.

Ternyata, banyak pendaki yang sudah mendahului kami naik menuju puncak, Biarlah! Mereka dengan kecepatan mereka dan kami dengan tempo kami sendiri. Bobby (yang notabene juga anak Mapa) sepertinya juga maklum dengan kondisi ini. Dia malah sepertinya bersyukur perjalanannya santai sehingga dia sendiri tidak capek. Selama perjalanan, Azis tercatat yang paling banyak mengambil gambar (secara dia tukang fotonya) dan yang paling banyak berkencan dengan batang sepanjang 7 cm dan membiarkan asapnya memenuhi paru-parunya, menyempitkan pembuluh darahnya dan meracuni sel-sel yang berdenyut hidup di tubuhnya.

Sesuai waktu yang dijanjikan, sekitar pukul 0315, kami mulai bergerak menyusuri jalan setapak menuju puncak Merbabu. Tower adalah puncak pertama yang kami tuju. Berkali-kali Bobby memberi kami semangat untuk terus melangkah dengan berkali-kali mengatakan: Towernya bentar lagi nyampe, tuh dah kelihatan.


"Udah kelihatan, my foot!", protes saya sedikit emosi. "Merbabu dari Magelang puncaknya juga dah kelihatan, Bob", sambung saya dengan napas seperti badak bercula satu yang marah. Tidak banyak dokumentasi selama kami menuju Tower. Saat Bobby mengatakan "udah kelihatan" lagi, saya mengultimatumnya, "Kalo kamu bilang itu lagi, kamu akan kulempar dari ketinggian ini". Padahal posisi saya sepertinya tidak mungkin melemparnya ke bawah. Kami tiba di padang berbatu datar yang cukup luas. Dengan lutut gemetaran dan napas satu-dua, saya menegakkan badan dan saya otomatis berteriak SUBHANALLAH. OOOHH!!!

"Oh, oh, oh, impas deh!", teriak saya tidak bisa menyembunyikan kegirangan saya. Sunrise dari puncak gunung! Sungguh lain sensasinya! Matahari yang perlahan mengintip, gumpalan awan dan kabut yang menyelimuti badan gunung, daun-daun yang basah karena embun. Perlahan, pipi saya menjadi hangat, meski suhu udara dingin. Hembusan angin gunung yang membuat hidung, bibir dan telinga saya kering tidak cukup menekan perasaan haru dan bahagia bisa menyaksikan pemandangan ini. Oh, peristiwa ini saya rekam di memori saya. Saya pikir kamera terbaikpun tidak bisa mengabadikan momen ini sebaik mata kepala sendiri.

Sunrise di Puncak Tower, salah satu puncak Merbabu. SUBHANALLAH!
Liat langsung yang asli berkali-kali lebih bagus dari gambar yang berhasil ditangkap ini loh!
Oh! Warna langitnya itu loh!
Ini siluet saya pas di Puncak Tower hehehe...

Gambar-gambar di bawah ini adalah narsis ria saat di puncak Tower
Huahaha! Tampang saya belum mandi >__<. Lihat background-nya! Frankenstein canggih banget ambil gambarnya ^_^.
Berfoto bersama bendera Ukesma ^_^. Ini idenya Frankenstein. Perhatikan pipinya Frankenstein, kilang-kilong kayak Anpanman hihihi...
Berfoto bareng sama tim pendaki. Malam berganti pagi dengan sangat cepat di atas gunung :D:D.
Seize the day!


Tak lupa sholat subuh di ketinggian 2900 mdpl. Oh, you should feel the breeze too! And the serenity, wow, like you are on the top of the world. So peaceful.
Oh...rasanya...seperti di puncak dunia ^_^. Sholat subuh di Puncak Tower. Dingin-dingin enak.
Kami melanjutkan perjalanan ke puncak selanjutnya.
Setelah puas mengambil gambar dan menikmati pemandangan, kami bergegas menyusuri jalur pendakian lagi, selanjutnya menuju puncak Syarif. Lagu yang cocok untuk kondisi saat itu adalah "Circle of Life"nya Lion King.


Matahari sudah melai merayap ke ketinggian. Pipi mulai terasa hangat. Saya bahkan mencopot jaket saya. Meski masih ngos-ngosan ketika mendaki, saya membulatkan tekad untuk mencapai puncak Merbabu yang lain: Syarif peak, Triangulasi peak dan the highest one - Kenteng Songo. Gambar di bawah adalah jepretan Frankenstein. Saya menyukai hasilnya.
Ooohhh...ada framenya! Mantep banget ya gambar hasil jepretan Frankenstein ini. Ini foto tanpa editing sama sekali loh! Pake kamera cellphone.

Sesampainya di puncak Triangulasi, saya merasakan pusing-pusing yang mulai menghebat, oh, saya dapat mountain sickness. Rasanya tidak menyenangkan. Selain pusing, perut juga mual, isi kepala serasa ditekan ke arah dalam, saya juga merasakan sensasi melayang. Hadeww...bahaya tuh! Frankenstein juga mengalami hal yang serupa, meski onsetnya sejam kemudian. Rupanya mountain sickness yang dia alami lebih parah dari saya. Seperti biasa, kami juga sering berhenti untuk beristirahat dan mengisi energi. Cracker yang saya bawa hampir habis: 90% saya yang memakannya. Hehe...maaph, Frankenstein, berada di ketinggian membuat saya laper.
Mekin lama medannya makin sulit, kami harus makin hati-hati menapakkan kaki.
Ya ampun! Bobby selaku leader nggak perlu pegangan ^_^;


Matahari terus merayap naik. Tapi, Bobby mengamati bahwa kabut mulai terbentuk di puncak Kenteng Songo. Untung bukan badai! Perjalanan dari puncak Syarif menuju Triangulasi tidak begitu menguras tenaga. Malah bisa dibilang, relatif datar landscape-nya. Kami juga bertemu dengan beberapa rombongan yang turun. Beberapa diantaranya ada yang memakai sandal cepit! Ya! Bodoh banget naik gunung menggunakan sandal cepit. Saya teringat pengalaman gladi bersih pelantikan Ukesma yang paling akhir. Saya memakai sandal cepit. Apa pasal? Saya belum punya sandal gunung dan sayang jika harus memakai sepatu pink saya (nah! sepatu lebih prioritas dari kaki tuh!). Sangat menderita. Sandal pink saya jebol yang sebelah kanan. Saya terpaksa meminjam sandal kapal nabi Nuh-nya Frankenstein. Untung nggak ikutan jebol. Kalo iya, saya nggak punya uang buat menggantinya :P.
Ini kami tinggal sebentar lagi menuju puncak yang paling tinggi loh! Hayoo...saya yang mana?


Eniwei, kabut mulai turun. Jalan mulai licin. Udara mulai dingin lagi. Saya buru-buru memakai jaket bulu angsa lagi. Gambar di bawah memang agak buram seperti itu karena kabut. Perjalanan mulai menanjak lagi. Track menuju ke Kenteng Songo harus memelipir jalan di pinggir gunung. Di kanan adalah tebing yang tidak terlalu terjal dan di sebelah kiri adalah jurang yang menganga. Saya cenderung berjalan menempel ke sebelah kanan untuk mengantisipasi terpeleset atau jatuh. Thanks to the gloves, saya bisa berpegangan nyaman.
Frankenstein pakai topi soalnya kabutnya dah mulai tebel dan cuacanya jadi sangat dingin. Harusnya pake ear muffler ya...Btw...topi yang saya pakai itu sebenernya punya Frankenstein loh!
Lihatlah kabut yang dah pada turun. Jarak pandang sangat terbatas. Kami harus berdekatan biar nggak ngilang.


Setelah memelipir sisi gunung, kami melewati track yang disebut Jembatan Setan. Namanya agak sangar sesuai dengan relitanya karena kami memang harus ekstra hati-hati melaluinya. Hanya ada panjatan kaki selebar kira-kira 20 cm dan pegangan batu-batu. Jembatan Setan adalah jalur sepanjang sekitar 10 meter yang wajib dilalui pendaki dengan hanya mengandalkan koordinasi kaki dan tangan untuk melangkah dan berpegangan. Saya berkali-kali meyakinkan diri untuk tidak memandang ke bawah.
Kami menyeberang di Jembatan Setan. Deg-degan huhuhu...


Terus dan terus menanjak. Siklus istirahat kami menjadi lebih pendek. Mendaki satu menit, istirahat 3 menit. Itupun rasanya kurang. Huff-huff... Saya sudah tidak memikirkan apa-apa lagi sampai kami tiba di sebuah dataran yang tidak ada tanjakannya sama sekali. Bahkan di sekeliling saya hanya berupa kabut putih saja. Tempat datar yang mempunyai batu-batu berceruk berisi air. OHH!! Kami sudah sampai di puncak Kenteng Songo! Saya langsung roboh (tepatnya merobohkan diri). Kepala saya sudah berdenyut-denyut. Pandangan saya sudah tidak fokus. Perut saya mual seperti habis naik roller coaster. Frankenstein berbaik hati meminjamkan kain sarungnya pada saya. Saya bahkan ditemani duduk bersender di dekat bebatuan. Teman-teman yang lain bereuforia berfoto-foto. Sayang kabutnya turun dan tidak mau hilang, pemandangan di sekitar puncak jadi tidak bisa diamati. Kami serasa berada di lingkaran pusat badai. Tenang, tanpa gejolak.


"It's the Circle of the Life
And it moves us all
Through despair and hope
Trough faith and love
Till we find our place
On the path unwinding"
Kami sudah sampai puncak Kenteng Songo!
Selamat Ulang Tahun Ukesma!
Eniwei, setelah membuat video ucapan selamat kepada Ukesma (ulang tahun ke 26), kami segera menyerang ransum makanan kami yang tersisa (tentu saja dengan tetap menyisakan untuk perjalanan pulang).

Ohh! Saya puas sekali akhirnya berhasil sampai puncak Merbabu, meski kali ini mountain sickness saya ikut mengambil alih indera saya yang lain. Teman-teman yang lain juga rupanya merasakan hal yang serupa. Tengok saja gambar di atas. Meski semuanya berwajah abstrak (belum mandi, belum sikat gigi, belum cuci muka, belum ganti baju dalam), perasaan bahagia tampak terpancar dari diri masing-masing orang. Nah, bagaimana perjalanan turun gunung kami? Apakah mountain sickness Frankenstein dan saya berhasil disembuhkan? Saksikan dalam postingan selanjutnya ya dengan judul Ekspedisi Merbabu Part 3: Kami adalah Sebelas Warriors.

OMAKE
Artikel di bawah ini saya salin-tempel langsung dari Wikipedia.com

Gunung Merbabu
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gunung Merbabu adalah gunung api yang bertipe Strato (lihat Gunung Berapi) yang terletak secara geografis pada 7,5° LS dan 110,4° BT. Secara administratif gunung ini berada di wilayah Kabupaten Magelang di lereng sebelah barat dan Kabupaten Boyolali di lereng sebelah timur, Propinsi Jawa Tengah.

Gunung Merbabu dikenal melalui naskah-naskah masa pra-Islam sebagai Gunung Damalung atau Gunung Pam(a)rihan. Di lerengnya pernah terdapat pertapaan terkenal dan pernah disinggahi oleh Bujangga Manik pada abad ke-15. Menurut etimologi, "merbabu" berasal dari gabungan kata "meru" (gunung) dan "abu" (abu). Nama ini baru muncul pada catatan-catatan Belanda.

Gunung ini pernah meletus pada tahun 1560 dan 1797. Dilaporkan juga pada tahun 1570 pernah meletus, akan tetapi belum dilakukan konfirmasi dan penelitian lebih lanjut. Puncak gunung Merbabu berada pada ketinggian 3.145 meter di atas permukaan air laut.

Gunung Merbabu mempunyai kawasan Hutan Dipterokarp Bukit, Hutan Dipterokarp Atas, Hutan Montane, dan hutan Ericaceous atau hutan gunung.

Jalur Pendakian
Gunung Merbabu cukup populer sebagai ajang kegiatan pendakian. Medannya tidak terlalu berat namun potensi bahaya yang harus diperhatikan pendaki adalah udara dingin, kabut tebal, hutan yang lebat namun homogen (hutan tumbuhan runjung, yang tidak cukup mendukung sarana bertahan hidup atau survival), serta ketiadaan sumber air. Penghormatan terhadap tradisi warga setempat juga perlu menjadi pertimbangan.

Jalur Wekas

Tim Skrekanek yang berjumlah lima orang ( Steve, Sigit, Bowo, Hari, Bayu) pertengahan Maret 2005 melakukan pendakian Gunung Merbabu melalui Jalur Wekas. Untuk menuju ke Desa Wekas kita harus naik mobil Jurusan Kopeng - Magelang turun di Kaponan, yakni sekitar 9 Km dari Kopeng, tepatnya di depan gapura Desa Wekas. Dari Kaponan pendaki berjalan kaki melewati jalanan berbatu sejauh sekitar 3 Km menuju pos Pendakian.

Jalur ini sangat populer dikalangan para Remaja dan Pecinta Alam kota Magelang, karena lebih dekat dan banyak terdapat sumber air, sehingga banyak remaja yang suka berkemah di Pos II terutama di hari libur. Wekas merupakan desa terakhir menuju puncak yang memakan waktu kira-kira 6-7 jam. Jalur wekas merupakan jalur pendek sehingga jarang terdapat lintasan yang datar membentang. Lintasan pos I cukup lebar dengan bebatuan yang mendasarinya. Sepanjang perjalanan akan menemui ladang penduduk khas dataran tinggi yang ditanami Bawang, Kubis, Wortel, dan Tembakau, juga dapat ditemui ternak kelinci yang kotorannya digunakan sebagai pupuk. Rute menuju pos I cukup menanjak dengan waktu tempuh 2 jam.

Pos I merupakan sebuah dataran dengan sebuah balai sebagai tempat peristirahatan. Di sekitar area ini masih banyak terdapat warung dan rumah penduduk. Selepas pos I, perjalanan masih melewati ladang penduduk, kemudian masuk hutan pinus. Waktu tempuh menuju pos II adalah 2 jam, dengan jalur yang terus menanjak curam.

Pos II merupakan sebuah tempat yang terbuka dan datar, yang biasa didirikan hingga beberapa puluhan tenda. Pada hari Sabtu, Minggu dan hari libur Pos II ini banyak digunakan oleh para remaja untuk berkemah. Sehingga pada hari-hari tersebut banyak penduduk yang berdagang makanan. Pada area ini terdapat sumber air yang di salurkan melalui pipa-pipa besar yang ditampung pada sebuah bak.

Dari Pos II terdapat jalur buntu yang menuju ke sebuah sungai yang dijadikan sumber air bagi masyarakat sekitar Wekas hingga desa-desa di sekitarnya. Jalur ini mengikuti aliran pipa air menyusuri tepian jurang yang mengarah ke aliran sungai di bawah kawah. Terdapat dua buah aliran sungai yang sangat curam yang membentuk air terjun yang bertingkat-tingkat, sehingga menjadi suatu pemandangan yang sangat luar biasa dengan latar belakang kumpulan puncak - puncak Gn. Merbabu.

Selepas pos II jalur mulai terbuka hingga bertemu dengan persimpangan jalur Kopeng yang berada di atas pos V (Watu Tulis), jalur Kopeng. Dari persimpangan ini menuju pos Helipad hanya memerlukan waktu tempuh 15 menit. Perjalanan dilanjutkan dengan melewati tanjakan yang sangat terjal serta jurang di sisi kiri dan kanannya. Tanjakan ini dinamakan Jembatan Setan. Kemudian kita akan sampai di persimpangan, ke kiri menuju Puncak Syarif (Gunung Pregodalem) dan ke kanan menuju puncak Kenteng Songo ( Gunung Kenteng Songo) yang memanjang.

No comments:

Post a Comment

Hai! Silakan sharing pengalamanmu disini ya. Makasiiiiih~~~

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...