Pages

Monday 16 May 2011

Ekspedisi Merbabu Part 2: Perjalanan Menuju Tempat Nge-Camp

Inilah dia tim ekspedisi Merbabu. Total semuanya ada 11 orang, tiga diantaranya bukan anak Ukesma.
Starring: (starting for guest star)
Azis (kiri), anak Mapa, salah satu tukang dokumentasi baik gambar maupun video, ciri khasnya: body built yang muscular, tinggi rata-rata dan kereta api berjalan (tak pernah terlihat tanpa rokoknya). Fajrin (kanan), anak Mapa yang menjadi keeper di pos 2, tidak ikut naik ke puncak tapi menjadi penghubung komunikasi, sudah pernah merasakan puncak Merbabu. Rambutnya model samurai. Suka godain Novia
Lalu inilah para pemain utamanya!

Klepon (kiri), cowok yang kelihatannya ringkih dalam start pendakian awal, tapi ternyata tangguh juga. Ciri khas: rambut berantakan. Novia (kanan), paling sering ngajak istirahat ketika pendakian, juga paling sering meluncur tanpa hambatan ketika perjalanan turun (hehe...).
Malik (kiri), cowok pendiam yang selalu berpotongan rambut semi-emo, sebutannya: orang lokal. Lea (kanan), cewek pendiam yang ternyata bisa ramai kalau sudah berkumpul bersama Klepon dan Novia.

Adu...aduhhhh, saya nggak nemu foto Dintan dan Bobby sebelum berangkat. Kalo foto Dede semuanya pas pendakian. Ya, nggak papa ya, nggak saya tampilin. Terus tentu saja di bawah ini adalah Frankenstein dan saya (hehe...maaph ya, narsis). Perhatikan...helm saya adalah helm Hello Kitty hihihi...




Wih, dah seminggu lebih tampaknya kami selesai menaklukkan Merbabu. Sesuai janji, saya akan menceritakan kisah tentang eleven warriors yang berjuang mencapai puncak-puncak Merbabu. Puncak-puncak? Yup, seperti Everest (bandingannya terlalu jauh, hehe), Mt. Merbabu juga mempunyai beberapa puncak.

Dalam postingan sebelumnya dikisahkan tentang persiapan pra-pendakian, sekarang, setelah semua persiapan itu dilaksanakan, maka selanjutnya adalah eksekusi pendakian. Setelah sekali lagi berkumpul untuk berdoa dan berfoto-foto, Bobby menjelaskan secara singkat mengenai leader dan sweeper. Leader terpilih yang memimpin perjalanan adalah Bobby (otomatis) karena ia sudah cukup sering mendaki. Sweeper, yang berjalan terakhir dan paling buntut adalah Azis. Sebagai informasi, dari 11 orang climber (Bobby, Klepon, Malik, Novia, Lea, Dintani, Dede, Fajrin, Azis, Frankenstein dan saya), 66% adalah novice, kecuali Bobby, Fajrin dan Azis. Ketiganya adalah anak Mapagama. Bobby telah berbaik hati mengajak (semoga tidak dengan paksaan) kedua anak Mapagama untuk ikut merasakan naik gunung sekali lagi.


Bobby memperkirakan kalau kami akan sampai pos dua sekurang-kurangnya dalam waktu 4 jam perjalanan. Saya selalu berjalan di depan Frankenstein sedangkan Frankenstein hampir selalu berjalan di depan Azis. Kesimpulannya: Kami berjalan paling bontot. Sejujurnya, saya tidak terlalu menyukai kegiatan naik gunung (lebih suka rafting atau caving), tapi demi ambisi Frakenstein (dan Bobby) menaklukkan Mt. Merbabu sebelum wisuda, ya saya melakukannya.

:::Start of flash back:::
"Frankenstein, saya nggak diizinin naik sama orang tua saya", kata saya dengan wajah sedih.
"Apa? Kenapa?", tanya Frankenstein pendek.
"Mereka kuatir kalo nanti terjadi apa-apa", jawab saya masih dengan wajah sedih.
"Padahal saya semangat naik gunung kalo ada Pepper Pott loo", kata Frankenstein dengan nada fade-out.
"Ya gimana lagi dumz...", tukas saya seraya memasang tampang pasrah.
"..."
"...tapi saya akan tetap coba lagi", kata saya sedikit optimis.
Dan saya pun akhirnya diizinkan naik gunung Merbabu. YES!
Frankenstein sendiri sebenarnya tidak diizinkan naik gunung oleh kakak laki-lakinya, tapi dengan alasan bahwa sebentar lagi ia (Frankenstein) bakalan hidup di hutan selama sekitar 2 minggu, jadi pendakian kali ini tentu saja menjadi ajang latihan. Kalo alasan lainnya sih, sebenarnya ada: Frankenstein ingin berfoto dengan menggunakan toga saat di puncak. Di postingan sebelumnya, saya sudah menulis bahwa Frankenstein sebentar lagi wisuda, dan ia mempunyai ambisi mengenakan toga saat tiba di puncak Merapi. Yap! Gunung yang awalnya mau didaki adalah Merapi.

Tapi kemudian, Merapi sempat batuk-batuk sehingga rencana itu diurungkan dan akhirnya gunung terpilih adalah Merbabu yang letaknya "di sebelahnya" gunung Merapi. Rencana memakai toga pun diurungkan karena toga ternyata baru bisa dipinjam tanggal 12 Mei sedangkan pendakian dilaksanakan tanggal 7-8 Mei. Hehe... Ndak papa, toh naik gunungnya rame-rame.

Dalam postingan selanjutnya, saya menulis sampai setibanya kami di basecamp. Kami mulai mendaki Merbabu sekitar pukul 1430. Sebelumnya berdoa dan berfoto dahulu.
Oh, ya, ada satu gambar yang Frankenstein abadikan ketika kami sedang makan siang (yang udah kesorean) di basecamp.

 
Berfoto di depan basecamp, saya sudah pake perlengkapan lengkap. Sebagian besar barang-barang saya dititipin ke Frankenstein. Arigatou XOXO.
Makan siang di basecamp. Frankenstein bagus banget yak ambil gambarnya. Suasananya kerasa banget. Padahal, dapur basecamp itu nggak sebagus yang tampak di foto loh hihihi...
Kami mulai mendaki. Jalannya masih di aspal, saya harus hati-hati, takut terpeleset. Jalan bentar dah ngos-ngosan LOL.



Tanjakan pertama adalah jalanan yang dipadatkan dengan batu, ada juga jalan yang sudah di conblock (sangat licin karena berlumut, mesti hati-hati kalau melangkah). Kebetulan, track awalnya ini adalah tanjakan yang curam. Dalam waktu hanya 3 menit, sebagian besar dari kami sudah kecapekan, mandi keringat dan megap-megap kehabisan napas. Saya merasakan beban di punggung rasanya berton-ton beratnya. Tidak bisa memikirkan bagaimana halnya yang dirasakan Frankenstein (saya pikir pasti jauh lebih berat, sebagai informasi, carrier yang Frankenstein bawa itu isinya 90 liter dan penuh - bukan berarti beratnya juga 90 kg lo!). Saya hanya berjuang melangkahkan kaki yang satu di depan kaki yang lain. Begitulah satu persatu langkah saya cicil.


Malik dan Dintan, tampak ceria menapaki jalur pendakian.


Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali...ayo, berjuang, perjalanan masih jauh.

Kami sering berhenti untuk mengambil napas dan mengisi lambung dengan air. Sungguh! Yang namanya naik gunung itu adalah suatu perjuangan. Tiap berjalan 5 menit, kami berhenti sekitar 3 menit, seperti itu berulang seperti siklus. Ketika berhenti, saya selalu mengedarkan pandangan ke arah teman-teman saya dan juga pemandangan di sekitar. Danau Rawa Pening tampak luas di kaki gunung. Banyak bunga liar yang tangguh dan cantik menghiasi sisi gunung. Untuk pertama kalinya, saya tidak terlalu mengkhawatirkan serangga-serangga yang sering bikin gatal-gatal dan merah. Saya bisa duduk di mana saja, di rerumputan ataupun pokok kayu yang manapun. Saya senang karena hampir tidak ada sampah yang saya temukan di gunung ini. Meski tetap ada sampah macam bungkus Mizone ataupun cracker-craker dan biskuit. Saya memergoki beberapa kali tim ekspedisi Merbabu ini memunguti sampah-sampah itu. Sip!

Kami sering berhenti buat mengambil napas sejenak sekalian melihat pemandangan. Subhanallah! Kelihatan bagus semua ciptaan Allah.


Duduk dulu, mengaso sambil menikmati pemandangan terhampar, tak lupa mengisi energi dengan madu. Oh, you're so sweet, Honey!


Frankenstein dengan carrier 90 liter-nya. Yare-yare...

Hampir selama 4 jam (atau mungkin 6 jam, entahlah, orientasi waktu saya tidak oke), kami berjalan (dan beristirahat), akhirnya kami sampai di pos 2, pos ini berupa hamparan padang mendatar yang mempunyai sumber air yang dialirkan melalui pipa-pipa pralon. Kami langsung mendirikan tenda, jumlahnya ada 3. Udara sudah mulai dingin. Benar-benar dingin! Kalau tahu seperti ini, saya tidak akan menulis benar-benar dingin, karena nanti, suhunya FREAKING COLD, saya sepertinya freezing, memencet switch on-off senterpun saya tidak bisa. Oh tidaak!! Saya juga sempat pipis di pos dua ini. "Dimana saja bisa, Nyah", celetuk Bobby ketika saya tanya dimana orang-orang biasanya buang air.

Kami sedang makan malam, pake mie dan sosis. Apa aja terasa enak kalo lagi kelaperan ^_^;;


Setelah tiga tenda berdekatan berhasil didirikan, kami segera membongkar ransum makanan dan memasak makan malam dengan bahan seadanya dan penerangan seadanya. Untung Frankenstein membawa kompor, gas dan nesting sendiri, sehingga kami tidak membuang-buang waktu menunggu giliran memasak. Berhubung semua bahan logistik didistribusikan ke semua anak, maka kami semua mengumpulkan bahan-bahan tersebut ke salah satu matras dan mulai memilih bahan makanan sesuai selera. Disini, Bobby menunjukkan kebolehannya membuat pancake sederhana. Dalam hati saya berucap bahwa saya bisa membuatnya 4 kali lebih enak. Lebih lanjut (setelah kami turun gunung), Frankenstein mengatakan kalau pancake bikinan Bobby belum matang, pancake-nya masih rasa tepung dan bikinan saya lebih enak. Hihi...wah, arigatou, Frankenstein. Tapi ya, bukan pendaki namanya kalo tidak menyantap habis semua makanan di ketinggian 2800 mdpl. Kata Bobby, cuma ada rasa enak dan enak banget kalo kita ada di tempat yang penuh tantangan seperti itu. Sekilas saya merasa kalau kami sedang ada di tempat pengungsian dan bukan sedang berkemah lantaran tempat memasaknya berantakan dan acak adut. Setelah makan malam kilat, saya mengajak Frankenstein gosok gigi dan ambil air wudhu. Tidak ada anak lain yang menggosok gigi seperti kami. Sigh...mungkin mereka sudah menduga hal ini akan terjadi sehingga tidak perlu repot-repot membawa sikat gigi dan pasta gigi. Eniwei, kami segera solat Maghrib dan Isya dijamak. Sesudahnya, saya langsung merebahkan diri di tenda saya karena Bobby mengatakan bahwa kami sudah harus berangkat dari pos 2 menuju puncak sekitar pukul 0300. Saya sulit tidur, dan sepertinya yang lain juga begitu. Saya mencoba mengubah posisi tidur, bergulung di dalam sleeping bag tebal yang hangat (Frankenstein pilih yang tipis). Saya sering nibo-tangi (istilah untuk menyatakan kondisi tidur antara tidur-bangun-tidur lagi-bangun lagi terus-terusan), tidak sehat dan malah membuat pusing. Saya mendengar suara-suara obrolan di luar yang samar-samar bertopik tentang stargazing. Bobby kelihatannya tidak tidur, ia malah ngobrol sambil memandang langit. Sejujurnya, saya juga ingin melakukannya, tapi saya juga harus tahu diri. Saya merasa bahwa jika saya melakukan kehendak hati saya, saya mungkin tidak akan tahan harus mendaki sampai puncak karena stamina dan fisik saya dihabiskan untuk hal itu.

Baca terus ya Part 3 tentang Perjalanan Menuju Puncak!

No comments:

Post a Comment

Hai! Silakan sharing pengalamanmu disini ya. Makasiiiiih~~~

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...